JAKARTA, KOMPAS - Antisipasi propaganda bernuansa radikalisme di dunia maya menjadi fokus Kepolisian Negara RI dengan meningkatkan patroli siber. Selama 2018, Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir 298 situs yang menyebarkan paham radikal dan separatis di internet.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo, Minggu (23/12/2018), di Jakarta mengatakan, tim Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal terus melakukan patroli siber untuk mengantisipasi provokasi dan propaganda paham radikal dan separatis. Berbagai provokasi dilakukan pihak-pihak tak bertanggung jawab yang bertujuan menghadirkan kebencian terhadap pemerintah.
Ia mencontohkan, kelompok kriminal bersenjata di Papua memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan propaganda. Berbagai media sosial, lanjutnya, seperti Facebook, Instagram, dan Twitter, dimanfaatkan kelompok kriminal bersenjata untuk memengaruhi masyarakat.
”Penyebaran hoaks dan propaganda yang provokatif bertujuan menghadirkan kebencian ke seluruh aparat negara. Kami sudah berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Siber dan Sandi Negara untuk memblokir akun-akun itu,” ujar Dedi.
Lebih lanjut, Polri melalui Satuan Tugas Khusus Papua telah mengidentifikasi 74 pelaku penyebar propaganda. Setiap pelaku itu menggunakan sampai tiga akun sehingga dari para pelaku tersebut diketahui ratusan akun digunakan.
”Mayoritas akun itu berada di Facebook. Sistem kerjanya, mereka bekerja sama dengan media daring yang sengaja mereka buat untuk menebarkan narasi propaganda,” kata Dedi.
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Ferdinandus Setu mengemukakan, pihaknya juga memblokir 298 situs yang bermuatan radikalisme dan separatisme hingga awal Desember 2018. Rinciannya, 295 situs bermuatan radikalisme dan tiga situs memuat konten separatisme.
Adapun upaya pemblokiran situs-situs provokatif itu telah dilakukan sejak 2010. Secara total, sudah 500 situs radikalisme dan separatisme dinonaktifkan Kemenkominfo.
”Situs-situs yang diblokir itu dominan berasal dari luar negeri. Pencarian situs dan akun penyebar provokasi dilakukan memakai mesin sensor internet atau AIS yang dilakukan setiap dua jam,” ujar Ferdinandus.
Pemblokiran dilakukan setelah Kemenkominfo berkoordinasi dengan Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Bersama kedua lembaga negara itu, kata Ferdinandus, pihaknya menelusuri akun dan situs yang menyebarkan konten terorisme, radikalisme, dan separatisme.
Ia menekankan, pemblokiran dijalankan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.