Di Tahun 2018, Mahkamah Konstitusi Lebih Cepat Tangani Perkara
Oleh
Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sepanjang tahun 2018, Mahkamah Konstitusi mencatat penyelesaian penanganan perkara yang lebih cepat dibandingkan dengan tahun 2017. Percepatan penanganan perkara yang lebih baik ini memberikan kepastian hukum yang lebih terjamin bagi pencari keadilan, sekaligus mengindikasikan mahkamah sepanjang tahun 2018 lebih responsif terhadap problem hukum yang menyangkut hak-hak konstitusional warga negara.
Juru bicara MK Fajar Laksono Soeroso, Rabu (26/12/2018) di Jakarta mengatakan, percepatan penanganan perkara oleh MK ini merupakan satu capaian tersendiri, dan sebagai jawaban atas pertanyaan publik selama ini atas kinerja MK. Tahun 2017, rata-rata satu perkara yang masuk ke MK diputuskan dalam waktu 5,2 bulan. Sekarang, tahun 2018, satu perkara di MK bisa diputuskan dalam waktu 3,5 bulan. Adapun jumlah perkara yang diregister di MK pada tahun 2017 dan 2018 sama, yakni 102 perkara pengujian undang-undang (PUU).
“102 perkara yang masuk ke MK itu artinya semua PUU yang telah diregister di MK. Khusus untuk tahun 2018, perkara yang kami hitung itu termasuk juga 39 perkara sisa dari tahun 2017. Di bulan Desember ini, masih ada perkara baru yang diregister, tetapi belum dihitung. Namun, kalau dikalkulasikan, rata-rata penyelesaian perkara di MK tetap lebih baik pada tahun ini (2018) daripada tahun 2017,” ujar Fajar.
Ia memprediksi penyelesaian perkara oleh MK itu pada tahun 2019 bisa lebih baik lagi, atau lebih cepat, karena pada tahun 2019 tidak ada Pemilihan Kepala Daerah Langsung atau Pilkada. Dengan demikian, waktu yang tersedia bagi mahkamah untuk menuntaskan perkara pengujian UU bisa lebih leluasa.
“Pada tahun 2017 dan 2018 memang ada penyelesaian perkara sengketa hasil pilkada, yang juga memerlukan perhatian mahkamah. Tahun depan, ketika tidak ada sengketa pilkada, percepatan penyelesaian uji materi UU tentu bisa lebih baik lagi,” kata Fajar.
Bagi MK, percepatan penyelesaian perkara menjadi tantangan tersendiri setelah banyaknya kritik dari publik yang menyatakan MK kurang responsif, atau terkesan lamban dalam penanganan perkara. Penyelesaian perkara pilkada di sela-sela pemeriksaan PUU kerap dijadikan alasan lamanya penuntasan perkara uji materi.
“MK berupaya menjawab pertanyaan publik itu, sehingga selain percepatan penanganan perkara, mahkamah juga berharap kualitas putusan bisa lebih meningkat tahun ini daripada tahun sebelumnya. Soal kendala penyelesaian perkara karena sengketa pilkada, buktinya untuk tahun 2018 ini bisa diatasi. Meskipun ada perkara sengketa pilkada, tetapi capaian waktu MK dalam memutuskan perkara membaik daripada tahun lalu,” urainya.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, percepatan penanganan perkara oleh MK itu patut diapresiasi. Perbaikan itu cukup signifikan, karena menurut catatan KoDe Inisiatif, rata-rata penyelesaian perkara di MK tahun 2016 selama 11 bulan untuk satu perkara, sedangkan tahun 2017 selama 10,5 bulan per satu perkara.
“Jika capaian yang dihitung MK untuk tahun ini betul 3,5 bulan per satu perkara, itu ada perbaikan kinerja 180 derajat dari tahun-tahun sebelumnya. Lompatan dalam penyelesaian perkara itu cukup signifikan, dan berdampak baik bagi jaminan kepastian hukum, dan menunjukkan MK lebih responsif terhadap persoalan hak-hak konstitusional warga negara,” ujar Veri.
Sebagai perbandingan, tahun 2018, MK menurut data KoDe Inisiatif memutuskan 113 perkara. Hitungan KoDe Inisiatif menunjukkan rata-rata MK memutuskan satu perkara selama 4,5 bulan. Angka ini pun lebih cepat dari catatan tahun sebelumnya, kendati lebih lamban dari klaim atau catatan yang diumumkan oleh MK.
“Memang ada perbedaan cara penghitungan, misalnya, karena kami di KoDe Inisiatif menghitungkan berdasarkan hari kalender, sedangkan MK menghitungnya berdasarkan hari kerja semata. Namun, apapun basis perhitungannya, memang ada perbaikan dalam percepatan penyelesaian perkara di MK, tahun 2018, dibandingkan dengan tahun 2017,” katanya.
Percepatan ini, lanjut Veri, menunjukkan problem penyelesaian perkara sebenarnya hanya soal manajemen perkara. Raihan tahun 2018 ini menunjukkan mahkamah kembali lebih responsif terhadap kebutuhan pencari keadilan, sekaligus menunjukkan upaya perbaikan kinerja.