JAKARTA, KOMPAS – Undang-Undang yang mengatur Organisasi Masyarakat perlu dievaluasi menyeluruh, termasuk pada aspek kewajiban pendaftaran. Pemisahan peraturan yang lebih spesifik dapat menjadi salah satu jalan keluar.
Hal ini mengemuka dalam Peluncuran Laporan Monitoring dan Evaluasi Implementasi UU Ormas Tahun 2017-2018 pada Kamis (27/12/2018) di Jakarta. Hadir dalam pemaparan tersebut adalah Koordinator Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) Fransisca Fitri, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam, dan Peneliti Imparsial Hussein Ahmad.
Berdasarkan data yang dikumpulkan KKB dalam kurun waktu Juli 2017 hingga 2018 di 30 provinsi di Indonesia, terdapat 200 peristiwa yang berkaitan dengan implementasi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Peristiwa tersebut kemudian dibagi dalam tujuh kategori jenis tindakan yaitu kewajiban mendaftar, stigmatisasi Ormas, pembatasan akses, pelarangan aktivitas, pelarangan organisasi, kriminalisasi, dan pembentukan aturan turunan.
Dari angka itu, terdapat 284 jenis tindakan yang terjadi. Temuan KKB menunjukkan, jenis kewajiban mendaftar menempati urutan teratas dengan 93 perbuatan. Hasil ini berbeda dengan periode Juli 2016 hingga Juli 2017 yang memperlihatkan kategori pelarangan organisasi berada pada posisi pertama dengan 91 tindakan.
Menurut Fitri, lonjakan angka kewajiban mendaftar dan memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) menandakan negara masih terpusat pada agenda birokrasi melalui konsolidasi keabsahan administrasi.
Hal ini juga diperkuat dengan penerbitan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Pengelolaan Sistem Informasi Organisasi Kemasyarakatan yang disusul dengan Surat Edaran Mendagri tentang Penerbitan SKT pasca diundangkannya Permendagri Nomor 57 tahun 2017.
Akibatnya, penafsiran masyarakat terhadap kepemilikan SKT kian melebar menjadi salah satu syarat mutlak untuk ormas dapat diakui oleh pemerintah dan mengakses bantuan-bantuan yang diberikan oleh Kementerian terkait. Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa pendaftaran ormas ke pemerintah sifatnya sukarela.
Penafsiran juga diperburuk dengan banyaknya aturan turunan seperti Peraturan Daerah (Perda) yang muncul, terutama mengatur kewajiban pendaftaran ini. Dalam rentang 2017-2018, terdapat 24 aturan turunan yang disahkan dan berkaitan dengan UU Ormas. Jumlah ini meningkat lebih dari 50 persen dibanding rentang 2016-2017 yang berjumlah 11.
Banyak peraturan di daerah yang mewajibkan organisasi mendaftar ke Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) setempat agar diakui oleh negara. Bila tidak, maka mereka tidak bisa mengakses program peningkatan kapasitas atau bantuan dana yang ditawarkan.
“Ini merupakan salah satu imbas dari perspektif pemerintah yang tidak berubah terhadap masyarakat. Mereka memandang warga sebagai entitas yang harus diatur. Padahal, seharusnya ormas dirangkul dengan memberikan program-program yang berguna,” kata Fitri.
Sementara Choirul mengatakan, terdaftarnya sebuah ormas tidak menjamin pemerintah dapat mengawasi seluruh organisasi dengan baik. Ia mencontohkan kasus korupsi di Banten beberapa waktu lalu. Pemimpin daerah kala itu menyalurkan uang rakyat melalui ormas-ormas untuk konsolidasi massa.
Akses terhadap program seharusnya bukan didasarkan pada terdaftar atau tidaknya sebuah ormas pada Kemendagri. Pengelolaan yang terjaga dan kinerja ormas merupakan beberapa contoh yang perlu menjadi dasar pemberian bantuan pemerintah.
Untuk menanggulangi masalah ini, Kemendagri perlu membahas perubahan fungsi SKT dalam UU Ormas. Caranya adalah dengan merumuskan kebijakan terpisah antara pendataan Ormas dan pemberian akses sumber daya. Fungsi SKT perlu ditekankan sebagai keperluan pendataan dan bersifat sukarela, bukan prasyarat mengakses program bantuan pemerintah.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga perlu didorong untuk merevisi UU ormas, terutama pasal yang mengatur SKT. Poin tersebut harus dibuat sejalan dengan keputusan MK dan ketentuan pidana agar tidak bertabrakan dengan aturan-aturan lain.
Sementara itu, Choirul mengatakan Komnas HAM berencana untuk membuat standar norma yang berkaitan dengan UU Ormas. Isi dari standar tersebut akan mengatur letak negara dan mekanisme peradilan dalam kebebasan berorganisasi.
"Prinsip utamanya adalah pemerintah bersikap pasif, utamanya dalam urusan pendaftaran agar sesuai dengan putusan MK. Pemerintah dapat terlibat bila ada poin tertentu yang sudah dipenuhi dalam standar tersebut," ungkap Choirul. (Lorenzo Anugrah Mahardhika)