Banjir Kandidat dan Informasi yang Minim
Demokrasi yang sehat tidak terlepas dari warganegara yang terinformasi dengan baik, sehingga mereka bisa mengambil keputusan yang paling tepat dalam proses demokrasi. Namun, bagaimana jika para pemilih dihadapkan pada “banjir” kandidat pada Pemilu 2019, tetapi informasi mengenai siapa dan apa yang mereka perjuangkan masih begitu minim?
Pemilu 2019 berbeda dari pemilu-pemilu terdahulu karena kali ini pemilihan legislatif diselenggarakan bersamaan dengan pemilihan presiden (pilpres). Kampanye berlangsung bersamaan waktunya, begitu pula dengan hari pemungutan suara, yakni 17 April 2019.
Sementara sebelumnya, Pemilu 2014 misalnya, masyarakat lebih dulu dihadapkan dengan hiruk pikuk kampanye legislatif yang memuncak pada pemungutan suara 9 April 2014. Baru setelah itu, persisnya 9 Juli 2014, masyarakat memilih presiden dan wakil presiden.
Dengan model pemilu yang serentak di 2019, begitu pula masa kampanye yang bersamaan, narasi kampanye di media massa serta di media sosial, terlihat lebih kental dengan hegemoni narasi kontestasi dua pasangan calon presiden/calon wakil presiden. Ini yang setidaknya terlihat selama lebih kurang tiga bulan kampanye sejak 23 September 2018.
Sementara program serta narasi pemilihan anggota legislatif, baik itu di level calon anggota DPR, DPD, maupun DPRD Provinsi serta DPRD Kabupaten/Kota, “tertutupi” oleh isu kampanye calon presiden dan calon wakil presiden tersebut.
Dalam beberapa kajian politik, kondisi itu memang dinilai sebagai implikasi dari digelarnya pemilu legislatif dan presiden secara serentak. Dalam pemilu yang serentak, narasi pilpres dianggap masyarakat lebih “penting”. Pemahaman ini pula yang mendasari konsep efek ekor jas (coattail effect), di mana kandidat dalam pilpres dianggap bisa ikut menaikkan perolehan suara partai politik pengusungnya dalam pemilihan legislatif.
Di tengah kondisi tersebut, Peneliti Senior di Jaringan untuk Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) Ferry Kurnia Rizkiyansyah yang dihubungi dari Jakarta, Kamis (27/12/2018), mengingatkan bahaya yang akan timbul jika pemilih terlalu fokus pada kontestasi pilpres, lalu melupakan pemilihan legislatif. Sebab, lembaga legislatif juga berperan penting dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Legislatif memiliki fungsi pengawasan, penganggaran, dan juga legislasi yang berdampak pada kehidupan masyarakat.
“Masyarakat sekarang seperti hanya ‘dijejali’ dengan informasi pilpres semata. Kemudian larut dalam perang hoaks dan informasi. Padahal, ada satu lembaga perwakilan sangat penting dan itu harus dikawal juga oleh masyarakat,” kata Ferry.
Tantangan besar
Tantangan masyarakat untuk mengenal calon anggota legislatif juga jauh lebih besar dibandingkan mengenal calon presiden dan calon wakil presiden.
Di bilik suara kelak, pemilih akan menjatuhkan pilihan di lima surat suara, yakni surat suara DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, serta surat suara calon presiden dan calon wakil presiden. Surat suara calon presiden dan calon wakil presiden hanya berisi dua pasangan calon. Namun, di empat surat suara lainnya, tertera nama sekitar 300 orang yang mencalonkan diri dari 16 partai politik serta dari perseorangan untuk calon anggota DPD.
“Sekarang informasi publik masih terkonsentrasi ke pilpres yang terpolarisasi, sehingga informasi caleg (calon anggota legislatif) kurang. Informasi caleg ini yang sekarang harus juga digenjot,” kata Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto.
Sejauh ini, sebagian data kandidat sudah diunggah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui laman daring infopemilu.kpu.go.id. Nama dan biodata kandidat legislatif di semua tingkatan serta calon presiden dan calon wakil presiden bisa ditemukan di laman daring itu. Hanya saja persoalannya, tidak semua caleg bisa diakses data pribadinya karena mereka tidak bersedia data pribadinya dibagikan oleh KPU ke publik.
Ferry Kurnia menilai, ketersediaan informasi bagi pemilih agar mereka bisa memilih wakil rakyat dengan baik menjadi peran banyak pihak. Penyelenggara pemilu misalnya, harus membuka data caleg seluas-luasnya dengan medium informasi yang memudahkan publik. Hal ini diyakininya akan bisa memantik inisiatif dari masyarakat. Partai politik juga memiliki tanggung jawab untuk menyosialisasikan kandidat serta program kerja yang ditawarkan.
Selain itu, dia melihat pentingnya peran masyarakat sipil yang dinilai perlu “keroyokan” untuk menyampaikan informasi ke publik terkait rekam jejak caleg, sesuai dengan bidang masing-masing, seperti informasi mengenai caleg yang pro pemberantasan korupsi, atau caleg yang peduli dengan isu hak asasi manusia, dan isu lingkungan.
Di luar itu, peran pemilih yang seharusnya aktif untuk mencari informasi mengenai partai dan caleg yang berkontestasi di tempat mereka tinggal, juga penting.
Rekam jejak
Upaya bersama itu menjadi penting karena informasi yang dibutuhkan tidak hanya sekadar biodata kandidat, tetapi juga rekam jejaknya.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menuturkan, sejauh ini sudah ada beberapa kelompok masyarakat sipil yang menyiapkan informasi daring para caleg. Dia mencontohkan, Perludem yang mengelola rumahpemilu.org yang bisa digunakan untuk mencari informasi mengenai pemilu secara umum. Selain itu, ada pula inisiatif Indonesia Corruption Watch (ICW) yang sedang menyiapkan laman daring berisi rekam jejak para calon anggota DPR petahana.
“Calon-calon yang pernah bermasalah, seperti bekas terpidana korupsi, terlibat kasus perusakan sumber daya alam, tentu perlu dihindari oleh masyarakat. Pemilih bisa mengalihkan pilihan ke calon yang lain yang jumlahnya banyak,” katanya.
Fadli pun menyarankan pemilih untuk setidaknya menilai kandidat dari dua hal. Pertama, memerhatikan apakah kandidat pernah datang berdialog, menyerap aspirasi masyarakat, serta apakah ada gagasan yang disampaikan untuk mengatasi persoalan masyarakat. Kedua, melihat pengalaman atau kiprah politik kandidat yang mencalonkan diri tersebut.
“Dua hal itu setidaknya bisa dilihat oleh pemilih. Sehingga harapannya pemilih tidak memilih calon karena membagikan barang kebutuhan pokok atau bahkan uang,” kata Fadli.
Masa kampanye masih akan berlangsung hingga 13 April 2019. Dalam kurun waktu itu, bisakah masyarakat mendapat informasi kandidat yang memadai agar mereka bisa memilih yang figur terbaik? Semoga saja.