JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemberantasan Korupsi mulai menerapkan pemasangan borgol pada para tahanan saat keluar dari rumah tahanan untuk berbagai kepentingan terhitung pada Rabu (2/1/2019). Aturan penggunaan borgol dilakukan sebagai bentuk edukasi bagi masyarakat dan sanksi sosial bagi para tahanan.
Sebagai langkah awal, aturan pemborgolan ini diterapkan di beberapa rutan. Dua tahanan KPK diborgol saat dibawa ke luar dari rutan untuk kepentingan pemeriksaan oleh penyidik. Sebanyak 34 tahanan yang berada di Jakarta, Surabaya, Medan, Ambon, dan Bandung juga diborgol saat dibawa ke luar rutan untuk mengikuti sidang. Selain itu, ada empat tahanan dibawa ke luar rutan untuk berobat.
Mengacu pada Pasal 12 Ayat 2 Peraturan KPK Nomor 01 Tahun 2012 tentang Perawatan Tahanan pada Rumah Tahanan KPK disebutkan, dalam hal tahanan dibawa ke luar rutan, dilakukan pemborgolan.
Pada Rabu pagi, tersangka dugaan suap Tubagus Cepy Sethiady serta Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur Cecep Sobandi turun dari mobil tahanan menuju lobi Gedung KPK Jakarta untuk menjalani pemeriksaan oleh penyidik. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini tangan kedua tahanan tersebut diborgol ke depan.
Apabila biasanya para tahanan dapat melenggang bebas, bahkan melambaikan tangan dengan berbagai gaya saat masuk atau keluar Gedung KPK Jakarta, pemandangan itu tak akan lagi bisa didapatkan. Bupati Purbalingga Tasdi, misalnya, yang dengan percaya diri mengacungkan salam metal seusai terjaring operasi tangkap tangan.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menjelaskan, aturan ini diterapkan setelah KPK menerima sejumlah masukan dari berbagai kalangan terkait perlakuan terhadap para tahanan KPK saat hendak menjalani pemeriksaan dan sesudah serta saat ke luar rutan guna kepentingan sidang atau kepentingan lain yang mendapat izin resmi.
”Salah satu hal yang mengemuka adalah aspek edukasi publik dan keamanan. Ini juga menjadi pembelajaran bahwa tak ada perlakuan yang berbeda antara pelaku kejahatan tindak pidana umum dan tindak pidana khusus,” kata Febri.
Masukan itu dikaji lebih lanjut dan disesuaikan dengan aturan yang sudah ada. Di sisi lain, penggunaan borgol pada para tahanan juga dilakukan penegak hukum lain, seperti kepolisian dan kejaksaan. ”Kami juga melakukan komparasi aturan pengelolaan tahanan oleh penegak hukum lain,” ujar Febri.
Diskresi
Di kejaksaan, penggunaan borgol diatur pada Pasal 5 Ayat 4 Peraturan Jaksa Agung RI No PER-005/A/JA/03/2013 tentang SOP Pengawalan dan Pengamanan Tahanan. Namun, kejaksaan pun sejauh ini belum menerapkan penggunaan borgol untuk para tahanan tindak pidana khusus. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Mukri menyatakan akan mempertimbangkan penerapannya.
Begitu pula dengan kepolisian yang mengatur penggunaan borgol melalui Pasal 20 Peraturan Kepala Badan Pembinaan Keamanan Polri No 10/2009 tentang Pengawalan. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo menuturkan, pihaknya telah memperlakukan pemborgolan kepada para tersangka yang dibawa ke luar markas kepolisian, misalnya untuk olah tempat kejadian perkara dan menjalani persidangan.
”Setiap tersangka yang dibawa ke luar markas diborgol untuk keamanan. Itu merupakan prosedur standar operasi yang harus dijalankan semua anggota Polri,” kata Dedi.
Akan tetapi, berdasarkan pengamatan di lapangan, para tersangka tindak pidana khusus, termasuk korupsi, belum diborgol polisi.
Secara terpisah, pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyampaikan, pemborgolan yang ditujukan untuk penjeraan atau sebagai sanksi sosial bisa mendapat reaksi keberatan. Sebab, aturan untuk memborgol itu berkaitan dengan keamanan dan kekhawatiran seorang tersangka atau terdakwa akan melarikan diri.
”Tapi kembali lagi, memborgol itu diskresi penegak hukum. KPK boleh menerapkannya karena ada urgensinya, yaitu para calon koruptor itu suka cengengesan meski sudah pakai rompi oranye. Kelihatannya seperti tetap bahagia, jadi ya diborgol saja supaya sadar bahwa ia sedang diproses hukum,” kata Fickar.