JAKARTA, KOMPAS — Peringatan Hari Lahir Ke-73 Muslimat Nahdlatul Ulama di Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (27/1/2019), dijadikan sebagai momentum menggaungkan semangat toleransi dan Islam yang moderat. Sikap toleransi ini bisa muncul melalui dialog yang menerima perbedaan pendapat.
Pesan tentang sikap toleran dan Islam yang moderat itu diserukan silih berganti oleh Presiden Joko Widodo, Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj, dan Ketua Umum Pengurus Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) Khofifah Indar Parawansa. Sementara Rais Aam PBNU Miftachul Akhyar menutup acara dengan doa bagi keselamatan bangsa.
Turut mendampingi Presiden adalah Ibu Iriana Joko Widodo serta beberapa menteri Kabinet Kerja. Hadir pula sejumlah tokoh NU, seperti Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga hadir dalam kesempatan itu.
Sebagaimana laporan ketua panitia acara, Yenny Wahid, sekitar 100.000 anggota Muslimat NU hadir di Gelora Bung Karno. Mereka berasal dari sejumlah daerah di Indonesia, Jawa dan luar Jawa.
Presiden dalam pidato selama 15 menit mengingatkan, Indonesia adalah negara yang sangat besar dan beragam. Dengan luas wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Pulau Rote, Indonesia kini telah memiliki penduduk 260 juta jiwa.
Indonesia juga merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Pada saat yang sama, Indonesia terdiri atas 714 suku dengan lebih dari 1.100 bahasa daerah. Indonesia juga memiliki keberagaman dalam hal adat, agama, dan lain sebagainya.
”Kita dianugerahi oleh Allah keberagaman. Sudah menjadi hukum Allah bahwa bangsa kita berbeda-beda,” kata Presiden.
Oleh sebab itu, Presiden mengajak Muslimat NU dan masyarakat Indonesia untuk membudayakan sikap toleran, serta saling menghargai dan menghormati di dalam keberagaman dan perbedaan itu.
”Islam yang moderat. Tidak yang radikal. Tidak yang ekstrem. Tetapi mampu menghargai dan menghormati saudara-saudara kita yang lain; yang berbeda agama, berbeda suku, berbeda adat, berbeda tradisi, berbeda bahasa daerah,” kata Presiden.
Untuk itu, Presiden menekankan, jangan sampai pemilihan kepala daerah atau pemilihan presiden memecah belah bangsa. Sejalan dengan itu, Presiden mengimbau agar seluruh warga negara menghindari sikap saling cela, saling hina, saling ejek, dan saling tebar hoaks.
Bersama-sama kita menjaga dan merawat persatuan dan persaudaraan. Juga menjaga kerukunan. Kita jaga ukhuwah Islamiyah (persaudaraan umat Islam) dan ukuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa). Jangan sampai karena perbedaan-perbedaan, kita tidak seperti saudara. Padahal, kita adalah saudara sebangsa dan setanah air.
Said Aqil Siroj mengajak seluruh anggota Muslimat NU untuk bersikap moderat dan toleran. Lebih lanjut, anggota Muslimat NU juga harus menjadi duta Islam yang moderat dan toleran baik di keluarga ataupun masyarakat.
”Jangan sampai terprovokasi bertindak radikal, ekstrem, apalagi radikal atas nama agama. Mari kita jaga NKRI, Pancasila, budaya, karakter, akhlakul karimah (akhlak terpuji). Inilah Islam Nusantara; Islam yang santun, Islam yang ramah, Islam yang memghormati budaya, Islam yang berkarakter dan berintegritas. Itulah Islam Nusantara. Bukan mazhab, bukan aliran, tapi tipologi masyarakat Islam Nusantara,” kata Said.
Pada kesempatan yang sama, Khofifah, menyatakan, Muslimat NU akan menjadi bagian dari elemen bangsa Indonesia yang ikut mempromosikan sikap toleran dan moderat. Dalam kesempatan itu, Muslimat NU mendeklarasikan gerakan antihoaks, antibergunjing, dan antifitnah.
Pada Minggu malam, Muslimat NU juga meluncurkan kompilasi panduan pendidikan anak usia dini dan taman kanak-kanak di lingkungan Muslimat NU versi terbaru. Substansinya adalah memberikan pemahaman kepada anak-anak bahwa Indonesia adalah negara yang beragam sehingga harus toleran dan saling menghormati satu sama lain.
”Kita akan menjadi bagian yang mengajak seluruh elemen bangsa membangun positivethinking. Ustadzah, mubalighah di Muslimat NU, guru-guru muslihat NU, ayo mengajak seluruh warga bangsa bangun negeri ini dengan pikiran konstruktif, positif,” kata Khofifah.
Tak maju lagi
Dalam kesempatan itu, Said Aqil juga menyatakan bahwa ia tidak akan mencalonkan diri lagi sebagai ketua umum PBNU periode 2020-2025 pada Muktamar NU tahun 2020. Ia yang sudah menjabat ketua PBNU dua periode, yakni 2010-2015 dan 2015-2020, mempersilakan kader lain untuk maju.
”Saya sudah 66 tahun. Tahun 2020, Muktamar NU, saya tidak akan mencalonkan diri. Silakan yang lain, siapa pun. Saya tidak punya calon. Siapa pun kader NU mencalonkan diri untuk menjadi ketua umum, monggo. Tapi saya tetap aktif di NU. Jangan khawatir,” kata Said.
NU didirikan di Surabaya pada 31 Januari 1926. Organisasi Islam terbesar di Indonesia itu memiliki sejumlah badan otonom. Salah satunya adalah Muslimat NU.