JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi pada tahun 2018 mampu mempercepat waktu penyelesaian perkara menjadi rata-rata 3,5 bulan per perkara. Angka itu membaik dari rata-rata tahun 2017, yakni 5,2 bulan per perkara. Namun, capaian itu belum menyertakan ukuran yang memadai tentang apakah kualitas putusan MK itu juga membaik dibandingkan dengan putusan-putusan tahun sebelumnya.
Ketua MK Anwar Usman dalam paparan Refleksi Akhir Tahun 2018 dan Proyeksi Kinerja MK tahun 2019, Senin (28/1/2019), di Jakarta, mengemukakan capaian lembaga itu dalam memberikan kepastian hukum kepada pencari keadilan.
Dibandingkan dengan rata-rata tahun sebelumnya, waktu penyelesaian perkara di MK lebih cepat. Tahun 2018, MK memeriksa 102 perkara pengujian undang-undang (PUU) dan 72 perkara sengketa perselisihan hasil pilkada. Jumlah PUU yang ditangani MK, tahun 2018, sama persis dengan yang ditangani pada tahun 2017.
”Dari jumlah 102 perkara pengujian undang-undang di tahun 2017, 49 perkara dilanjutkan pemeriksaannya di tahun 2018. Dengan demikian, total perkara yang ditangani MK, tahun 2018, ialah 223 perkara, yang terdiri atas 151 perkara pengujian UU, dan 72 sengketa selisih hasil pilkada,” kata Anwar.
Dari 223 perkara yang ditangani tahun 2018, masih tersisa 37 perkara yang harus diselesaikan pada tahun 2019. Sisa perkara ini lebih sedikit jika dibandingkan dengan sisa perkara tahun 2017, yakni 49 perkara.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, dari sisi percepatan waktu, capaian MK itu memberikan kepastian bagi pencari keadilan mengenai hak-hak konstitusional warga negara. Kendati capaian ini diapresiasi, kinerja itu belum sepenuhnya menggembirakan lantaran masih jauhnya deviasi antara perkara yang paling cepat diputus dan perkara yang paling lama diputus.
”Catatan kami terhadap 15 tahun MK menunjukkan masih ada rentang waktu yang lumayan jauh antara perkara yang diputus cepat, yakni dalam hitungan hari, dengan putusan MK yang baru diputus setelah melewati waktu satu tahun. Hal ini menunjukkan MK juga belum memiliki satu standar khusus terkait dengan perkara-perkara yang beberapa kali diuji, karena untuk perkara tertentu yang sudah pernah diuji, seharusnya waktu penanganannya lebih cepat,” kata Veri.
Mahkota MK
Di sisi lain, kualitas putusan MK juga belum tergambar dari hasil percepatan penyelesaian perkara tersebut. Sejumlah indikator sebenarnya bisa dibuat untuk mengukur kepuasan publik terhadap putusan MK, termasuk kualitas argumentasi yang disusun oleh MK dalam putusannya.
Anwar dalam paparan refleksi akhir tahun dan proyeksi kinerja MK juga sudah menyebut adanya rencana dari MK untuk menganggarkan pelatihan dan pendidikan bagi staf dan peneliti MK. Namun, Anwar tidak merinci berapa besaran anggaran yang diperuntukkan bagi pendidikan staf dan peneliti tersebut.
”Putusan merupakan mahkota MK. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan kualitas putusan merupakan upaya terus menerus bagi MK. Untuk itu, diperlukan dukungan SDM kepada hakim konstitusi yang mampu memberikan dukungan substansial yang lengkap, akurat, berkualitas, dan dapat dipertanggungjawabkan, terutama secara keilmuan. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas SDM guna peningkatan kualitas putusan menjadi perhatian dan prioritas pada 2019,” kata Anwar.
Veri menuturkan, proyeksi itu harus segera direalisasikan untuk membekali para hakim konstitusi para staf dan peneliti yang berkualitas. Tujuannya ialah membentuk “justice office,” yang terdiri atas para peneliti dan staf yang memiliki kemampuan membuat pertimbangan putusan secara mendalam. Para staf dan peneliti itu akan dilekatkan kepada masing-masing hakim MK untuk membantu mereka dalam perumusan pertimbanan putusan.
”MK sebenarnya sudah memiliki para peneliti konstitusi, lulusan dari dalam dan luar negeri yang berkualitas. Gagasan justice office perlu diwujudkan sehingga setiap hakim konstitusi memiliki sekian puluh peneliti, bukan hanya untuk riset putusan-putusan MK, tetapi dia dilekatkan pada hakim untuk membuat argumentasi putusan dan mendalam berdasarkan riset yang kuat,” katanya.