Pemilu 1982 menjadi kontestasi elektoral ketiga yang digelar di era Orde Baru. Untuk kedua kalinya, suara pemilih diperebutkan partai hasil fusi, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) ditambah Golongan Karya (Golkar). Pemilu 1982 menjadi ajang konsolidasi kekuatan rezim Orde Baru dengan semakin kukuhnya Golkar sebagai peraih suara dan kursi terbanyak.
Di Pemilu 1982, Golkar mempertahankan kemenangannya di Pemilu 1977. Golkar merebut 246 kursi dari total 364 kursi DPR. Golkar menambah 10 kursi jika dibandingkan jumlah kursi yang diraih di Pemilu 1977.
Capaian Golkar berbanding terbalik dengan PPP dan PDI. Suara PPP di Pemilu 1982 mencapai 20,8 juta, turun 1,51 persen dibandingkan capaian pada Pemilu 1977. Penurunan suara ini juga berdampak pada berkurangnya jumlah kursi PPP di DPR, yakni dari 99 kursi di Pemilu 1977 menjadi 94 kursi di Pemilu 1982. Nasib yang sama dialami PDI. Raihan kursi PDI turun dari semula 29 kursi menjadi 24 kursi.
Apa yang dialami PPP dan PDI tidak lepas dari kian kuatnya dominasi Golkar sebagai peserta pemilu, sekaligus sebagai penyokong utama pemerintahan Orde Baru. Saat itu, Soeharto sebagai presiden juga menjabat Ketua Dewan Pembina Golkar.
Kemenangan Golkar di Pemilu 1982 juga relatif merata di 26 provinsi di Indonesia. Dominasi Golkar ini terlihat dari rata-rata kemenangan di atas 50 persen di setiap provinsi. Di provinsi-provinsi wilayah timur Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan Timor Timur (saat itu masih tergabung dengan Indonesia), capaian suara Golkar di atas 90 persen.
Golkar hanya gagal mendominasi Provinsi DI Aceh. Di provinsi yang dikenal sebagai Serambi Mekah ini, PPP mengalahkan Golkar. Di provinsi ini PPP menguasai hampir 60 persen suara pemilih dan merebut 6 kursi. Sementara Golkar berada di peringkat kedua dengan capaian 36,9 persen suara dan 4 kursi. Namun, secara umum data mengindikasikan Pemilu 1982 adalah momentum Golkar meneguhkan dirinya sebagai partai pemenang utama (the ruling party) yang kemudian kian menancapkan hegemoninya di panggung politik Orde Baru.