JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 58 responden dari pihak swasta menilai aparat negara menjalankan tugas mereka untuk membantu pebisnis dengan setengah hati. Bahkan, sebanyak 49 persen responden menyatakan aparat negara hanya mau bekerja jika diberi uang atau hadiah. Kondisi yang mengarah pada korupsi sektor swasta ini berpotensi melemahkan mekanisme pasar dan memperparah kerugian ekonomi.
Temuan tersebut merupakan hasil dari survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan 13 November 2018 hingga 5 Januari 2019. Survei dilakukan terhadap 149 pelaku usaha di lima wilayah, yakni DKI Jakarta, Sumatera Utara, Banten, Jawa Timur, dan Maluku Utara. Tiga sektor utama yang disasar dari survei ini adalah terkait infrastruktur, kepabeanan, dan perizinan usaha.
Korupsi di lingkungan dunia usaha mengakibatkan inefisiensi, bahkan menghambat kemajuan perekonomian dan investasi.
”Upaya untuk menciptakan hubungan yang sehat antara pengusaha dan pemerintah saat ini masih terkendala. Kompleksitas birokrasi menjadi salah satunya, tetapi masih banyaknya praktik korupsi di lingkungan dunia usaha mengakibatkan inefisiensi, bahkan menghambat kemajuan perekonomian dan investasi,” kata peneliti LSI, Ahmad Khoirul Umam, di Jakarta, Kamis (14/2/2019).
Responden survei ini menilai, suap dibutuhkan karena sejumlah alasan. Sebanyak 83 persen responden menyatakan urusan yang rumit akan cepat selesai dengan memberi uang atau hadiah di luar ketentuan resmi kepada pegawai pemerintah. Sementara itu, sebanyak 80 persen menyatakan pemberian itu karena budaya membalas budi.
Sebanyak 70,3 persen responden mengakui tidak ada aturan tertulis di perusahaan mereka yang melarang karyawan dan pemegang saham untuk memberi sesuatu kepada pegawai pemerintah di luar ketentuan resmi.
Kendati demikian, sebanyak 64,4 persen responden menyadari hal ini tidak wajar terjadi. Namun, menurut mayoritas responden, belum ada aturan larangan memberikan suap atau gratifikasi kepada pegawai pemerintah. ”Sebanyak 70,3 persen responden mengakui tidak ada aturan tertulis di perusahaan mereka yang melarang karyawan dan pemegang saham untuk memberi sesuatu kepada pegawai pemerintah di luar ketentuan resmi,” ujar Umam.
Di sejumlah perkara yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi, pihak swasta secara sadar melakukan suap kepada pihak eksekutif ataupun legislatif karena memahami keuntungan yang akan mereka terima. Bahkan, ada yang memanfaatkan kedekatan dengan penguasa atau hubungan politik, baik di pusat maupun daerah, untuk memperoleh proyek strategis bernilai besar.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan, KPK telah mengeluarkan buku Panduan Pencegahan Korupsi untuk Dunia Usaha. Isi buku itu dapat diikuti oleh perusahaan untuk menerapkan tata kelola yang bebas korupsi dan antigratifikasi. ”Apabila masih ada pelanggaran yang terjadi dan ada bukti yang cukup, tentu akan ditindak. Apalagi panduan pencegahannya sudah diberikan,” kata Febri.
Sementara itu, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menyampaikan, isu penanganan korupsi swasta ini harus dibahas secara serius. Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) telah memberikan rekomendasi agar Indonesia segera mengatur hal itu dalam sebuah undang-undang. ”Selama ini baru korupsi publik yang diatur. Padahal, besar kerugian dari korupsi swasta jauh lebih besar,” ujar Adnan.