Pasangan Calon Diminta Perhatikan Hak Mendasar Penyandang Disabilitas
JAKARTA, KOMPAS — Kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden diminta untuk lebih memperhatikan hak-hak mendasar penyandang disabilitas. Sebagian di antaranya yang terkait dengan pendidikan dan ketenagakerjaan.
Hal tersebut mengemuka dalam Debat Tim Sukses Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden 2019, Kamis (28/2/2019), di Gedung KPU, Jakarta. Debat yang diselenggarakan Pokja Implementasi Undang-Undang Penyandang Disabilitas itu mengambil tema ”Membangun Indonesia Inklusif Disabilitas 2024”.
Dalam kesempatan itu, Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin diwakilli Ace Hasan Syadzily dan Yustitia Arif. Sementara Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno diwakili oleh Edriana Noerdin dan Astriana Baiti Sinaga.
Adapun moderator debat tersebut adalah Ketua Umum Persatuan Tunanetra Indonesia Aria Indrawati. Ratusan peserta yang siang itu datang berasal dari perkumpulan sejumlah organisasi serta penyandang berbagai jenis disabilitas.
Salah satu isu yang mengemuka adalah penggunaan Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo). Selain wacana perlunya penyatuan visi terkait bahasa isyarat dengan kurikulum yang ada, hal lain yang sempat diwacanakan adalah perlunya mengintegrasikan SIBI dan Bisindo serta pada saat bersamaan menjamin ketersediaan pengajar dan fasilitasnya.
Pada bagian berikutnya mengenai ketenagakerjaan, Aria mengelaborasi tentang hambatan di sektor formal, termasuk yang terjadi di balai latihan kerja. Selain itu, ia juga menyebutkan ihwal adanya perlakuan diskriminatif bagi sebagian penyandang difabel dalam merekrut aparat sipil negara pada 2018 lalu.
Menanggapi hal itu, Edriana mengatakan bahwa pemeriksaan kesehatan dalam perekrutan pegawai merupakan bentuk diskriminasi paling awal. Hal tersebut berpotensi menghambat akses bagi penyandang difabel dan oleh karena itu mesti ditinjau ulang.
Selain itu, ia juga menyoroti belum adanya keinginan politik untuk mewujudkan sebagian amanah dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Sebagian di antaranya berupa kuota minimal 2 persen pegawai difabel di kantor pemerintah dan 1 persen di kantor swasta.
”Tiga tahun diundangkan, (tetapi) belum ada PP (peraturan pemerintah),” kata Edriana.
Adapun berdasarkan dokumen Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas, setelah UU Penyandang Disabilitas disahkan, masih terdapat sejumlah hal yang belum diselesaikan. Hal itu, di antaranya, adalah penuntasan 8 rancangan peraturan pemerintah, 2 peraturan presiden, dan 1 peraturan menteri sosial. Dokumen yang sama juga menyebut adaptasi perubahan birokrasi, program, dan penganggaran pemerintah pusat dan daerah serta pembentukan Komisi Nasional Disabilitas.
Sementara Yustitia menanggapi pertanyaan itu dengan perlunya melakukan pengawasan dan evaluasi apakah peraturan yang ditetapkan sudah dilaksanakan. Hal ini, menurut dia, penting dilakukan antarsektor dan antar-organisasi disabilitas.
”Apakah kuota (karyawan atau pegawai difabel) ini terlaksana,” ujarnya.
Adapun menurut Ace, pemerintah bisa memberikan sanksi jika aturan tersebut tidak dijalankan.
Hal lain yang juga sempat dibahas adalah akses terhadap layanan keuangan atau industri perbankan. Aria mengatakan, kerap kali penyandang disabilitas ditolak menjadi nasabah perbankan karena dianggap tidak bisa memberikan tanda tangan secara konsisten bagi penyandang tunanetra dan tidak ada pegawai bank yang bisa berkomunikasi dengan calon nasabah yang mengalami tuli.
Astriana menanggapi hal tersebut dengan mengatakan bahwa kunci mengatasinya tergantung pada kemauan pemimpin. Sementara Yustitia menyebutkan bahwa akses perbankan merupakan wujud ekonomi inklusif. Karena itulah, pihaknya menggiatkan inklusi keuangan yang salah satunya dilakukan dengan pelatihan mengenai literasi keuangan.
Tunggu realisasi
Ivo Shadan (20), salah seorang penyandang difabel yang menggunakan kursi roda, menanggapi debat tersebut secara realistis. Ia menganggap janji-janji yang disampaikan kedua belah pihak bagus.
”Tetapi, kan, kita butuhnya realitas, nanti ketika (di antara kandidat) sudah menjabat. Kita tunggu saja nanti,” kata Ivo.
Dia menuturkan, sebagai pengguna kursi roda, sejauh ini dirinya sudah beberapa kali mengalami perlakukan tidak adil tatkala berupaya mencari kerja. Sejumlah instansi dan perusahaan perbankan, lanjutnya, sempat menolaknya sebagai pengguna kursi roda.
Ia mengatakan, jika ada perekrutan bagi penyandang difabel, yang cenderung diutamakan adalah penyandang tunarungu atau tunanetra serta penyandang difabel fisik yang masih mampu menggunakan kruk atau tongkat. Sementara pengguna kursi roda cenderung tidak diutamakan.
Menurut dia, yang juga aktif sebagai atlet bulu tangkis berkursi roda itu, hal itu mengingat akses yang terbatas bagi pengguna kursi roda di sejumlah perusahaan atau instansi terkait. ”Cukup sering, sudah cukup sering. Ya, lebih dari tiga kali,” kata Ivo mengenai frekuensi kejadian penolakan yang dialaminya tatkala berupaya beroleh pekerjaan di sektor formal.