JAKARTA, KOMPAS — Upaya mengikis habis korupsi dari bumi Indonesia sudah dilakukan lebih dari setengah abad lalu. Namun, hingga kini pola dan modus korupsi tidak banyak berubah. Pelakunya pun tidak jauh-jauh dari politisi, birokrat, pejabat badan usaha milik negara, dan pihak swasta yang memiliki relasi dengan penguasa.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif dalam diskusi buku Melawan Korupsi: Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia 1945-2014 karya Vishnu Juwono di Gedung KPK, Jakarta, Senin (18/3/2019), mengatakan, persoalan korupsi yang dihadapi dan ditangani Operasi Budhi di bawah Jenderal Abdul Haris Nasution pada 1960-an hingga KPK saat ini tidak banyak berubah. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari penguasaan ekonomi oleh sekelompok orang untuk melanggengkan kekuasaan.
Menurut Laode, keberadaan para oligark di Indonesia ini turut menyumbang suburnya korupsi di Indonesia dan membuat upaya pemberantasan korupsi perlu didukung komitmen politik yang kuat dari pemimpin negara. Sebab, para oligark yang lahir sejak era sebelum reformasi ini masih memiliki kuasa, bahkan berkecimpung di bidang politik.
”Transisi demokrasi bahkan sama sekali tidak menjadi penghalang ataupun pemangkas kekuasaan mereka,” kata Laode.
Menurut Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko, lemahnya komitmen politik berdampak pada upaya pemberantasan korupsi. Terlebih lagi, persoalan yang dihadapi sejak dulu tetap sama, yakni terkait korupsi politik.
”Ada titik temu kepentingan politisi, birokrat, dan pebisnis. Ini yang terus terjadi,” ujar Dadang.
Sementara itu, Vishnu yang juga pengajar Ilmu Administrasi Publik Universitas Indonesia menyoroti inisiatif yang bergulir hingga reformasi tersebut nyatanya belum sepenuhnya membenahi tata kelola pemerintahan sehingga jauh dari korupsi. Padahal, tekad reformasi saat itu adalah membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel.
”Dari masa kemerdekaan hingga era reformasi, kelompok reformasi tidak dapat membawa reformasi juga dalam tata kelola pemerintahan yang komprehensif, mendalam, dan berkelanjutan,” kata Vishnu.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte menambahkan, korupsi tidak terpengaruh oleh kondisi suatu negara. ”Mau ekonomi buruk, ada korupsi. Ekonomi baik, juga ada korupsi. Yang harus dipecahkan di Indonesia ini sistemik struktural dan persoalan kultur,” ungkap Philips.
Ia pun mengambil contoh kebiasaan masyarakat yang memberikan bayaran tambahan pada layanan jasa yang menjadi akar gratifikasi dan suap selanjutnya. Selain itu, rumitnya birokrasi dari dulu hingga saat ini terus-menerus menjadi celah untuk suap. Menurut dia, masukan untuk pembenahan dan efisiensi birokrasi sering diberikan, tapi tidak semua menjalankannya.
”Ada pihak-pihak yang sengaja terus seperti itu, tapi saya optimistis bisa diatasi,” kata Philips.