JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 53 pemerintah daerah belum menyatakan kesiapannya untuk membiayai tenaga honorer yang telah lolos menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK. Mereka menuntut agar PPPK diperlakukan sama dengan PNS sehingga pembiayaan PPPK diambil dari dana alokasi umum yang berasal dari Pemerintah Pusat.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Kepegawaian Negara (BKN), dari 370 pemerintah daerah (pemda) yang melakukan perekrutan PPPK, hanya 317 pemda yang mengonfirmasi ulang formasi PPPK dan menyatakan kesiapan anggaran untuk membiayai PPPK. Sisanya, 53 pemda belum melakukannya.
Sebagai catatan, dari total 72.980 tenaga honorer kategori dua (K2) yang mengikuti seleksi PPPK, ada 51.293 peserta yang lolos ambang batas (passing grade)sehingga bisa menjadi PPPK.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia Najmul Akhyar saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (3/3/2019), mengatakan, pemda meminta kepada pemerintah pusat agar memperbaiki sistem penggajian PPPK. Menurut dia, PPPK yang masuk dalam klasifikasi aparatur sipil negara itu seharusnya turut menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Oleh karena itu, seharusnya untuk membiayai para PPPK, juga berasal dari dana alokasi umum, seperti halnya pegawai negeri sipil.
”Mudah-mudahan segera ada perbaikan sistem (penggajian PPPK) oleh pemerintah. Jadi, gaji PPPK akan sama dengan gaji PNS secara umum, masuk DAU. Kami akan perjuangkan terus itu. Yang penting ada legalitasnya dan itu kewenangan Presiden,” ujar Najmul yang juga menjabat sebagai Bupati Lombok Utara.
Ini penting karena alokasi anggaran di APBD 2019 sudah terbagi untuk program-program pemda. Tidak ada lagi anggaran tersisa untuk membiayai PPPK. Selain itu, di banyak pemda, ruang anggaran sangat sempit sehingga pemda kesulitan untuk bisa membiayai PPPK.
Menurut Kepala BKN Bima Haria Wibisana, pembebanan pembiayaan PPPK kepada pemda semata-mata karena mayoritas tenaga honorer K2 berada di daerah. Mereka pun menjadi honorer karena diangkat oleh pemda. Dengan demikian, lanjut Bima, pemda seharusnya tidak lepas tangan dalam menyelesaikan persoalan tenaga honorer tersebut.
”Kalau PPPK umum memang sebaiknya diambil dari DAU tambahan. Tetapi ini, kan, PPPK khusus K2. Jadi, daerah perlu ikut bertanggung jawab menyelesaikan masalah K2,” kata Bima.
Dikonsultasikan
Sekretaris Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) Dwi Wahyu Atmaji mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mengevaluasi kondisi keuangan setiap pemda yang melakukan perekrutan PPPK.
”Nanti, kami akan rumuskan bersama-sama gimana solusinya,” ujar Dwi.
Menurut Direktur Fasilitasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah Kemendagri Adrian Noviyanto, pemerintah pusat perlu membuat dasar hukum yang mengizinkan pemda menambah pos gaji PPPK di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Aturan itu bisa melalui peraturan menteri, instruksi presiden, peraturan presiden, atau peraturan pemerintah.
”Setiap belanja di APBD untuk pembayaran gaji PPPK tentunya harus ada dasar hukum yang melandasi. Setelah itu, baru pemda bisa membayarkan,” ujar Adrian.
Jika dasar hukumnya telah ada dan ternyata daerah belum menganggarkan, belanja pegawai PPPK tersebut masuk dalam kategori mendesak. Dengan demikian, pemda dapat menggunakan belanja tidak terduga (BTT).
Namun, jika dana itu masih kurang, pemda dapat menjadwalkan ulang kegiatan yang ada pada Tahun Anggaran 2019 atau menggunakan uang kas yang tersedia. Dasarnya adalah Pasal 162 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
”Nanti, profil belanjanya harus dicermati dan ditelaah kembali, apakah ada kegiatan-kegiatan yang bisa dilakukan penjadwalan ulang atau tidak. Misalnya, dengan cara pengurangan belanja perjalanan dinas, belanja hibah atau bantuan sosial, dan belanja yang sifatnya konsumtif,” kata Adrian.