JAKARTA, KOMPAS —Korupsi merupakan persoalan kronis bangsa Indonesia yang penanganannya harus dilakukan secara holistik. Pemilihan umum yang menjadi titik ”kelahiran” aktor-aktor politik menduduki jabatan publik strategis juga harus dijadikan hulu dari upaya pemberantasan korupsi.
Hanya saja, pemilu baru bisa menjadi hulu pemberantasan korupsi apabila integritasnya betul-betul terjaga. Terjaganya integritas pemilu juga membuat aktor politik yang terpilih bisa dipertanggungjawabkan kualitas dan kapabilitasnya.
Terkait hal itu, Ketua Badan Pengawas Pemilu Abhan, setelah menghadiri kegiatan Pemilu Run 2019 di kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (7/4/2019), kembali menegaskan, jika proses pemilu dicederai persoalan politik uang, hasilnya akan muncul korupsi. ”Tak heran, kita sering mendengar operasi tangkap tangan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Itu karena proses pemilu diawali politik transaksional,” kata Abhan.
Bawaslu, menurut Abhan, telah membentuk patroli pengawasan untuk mencegah politik uang. Pengawasan akan diperketat pada masa tenang, yakni 14-16 April 2019. Namun, hal itu akan menjadi percuma kalau masyarakat tidak ikut menolak politik uang.
”Tentu (upaya) ini tak akan efektif kalau tak ada dukungan dan partisipasi dari seluruh pemilih. Harus ada gerakan berani tolak politik uang yang diikuti semua pemilih. Kalau kita berani (tolak politik uang), pemilu ini bisa jujur,” tuturnya.
Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman juga mendorong masyarakat bijak dalam memilih pada Pemilu 2019. Menurut dia, pemilih yang berdaulat adalah pemilih yang jujur terhadap pilihannya tanpa ada iming-iming apa pun, termasuk uang.
”Memilihlah bukan karena Anda dibayar, tetapi cek track record (rekam jejak), siapa dia, apa yang pernah dia lakukan. Itulah pemilih yang berintegritas, jujur, dan bertanggung jawab,” ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
Menurut Saut, kejujuran dalam proses pemilu juga akan berkontribusi dalam memperbaiki indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia. Sebagai catatan, skor IPK Indonesia pada tahun 2018 mencapai 38, membuat Indonesia di ranking ke-89 dari 180 negara yang diteliti Transparency International.
”Partai politik, peserta pemilu, pemilih, proses pemilu, semua harus terbebas dari politik uang karena semua menentukan IPK kita. Itu kaitannya isu korupsi dengan demokrasi,” katanya. (BOW)