JAKARTA, KOMPAS - Partisipasi politik masyarakat pada hari pemungutan suara 17 April kelak dikhawatirkan makin berkurang menyusul iklan kampanye yang belum diorientasikan pada kepentingan para pemilih. Isu-isu lokal yang dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari jarang diangkat di dalam iklan ataupun materi kampanye calon anggota legislatif atau partai politik yang mengusungnya.
Manajer Program Yayasan SatuDunia, Anwari Natari, Rabu (10/4/2019) mengatakan, saat ini terdapat kecenderungan tidak relevannya iklan politik dengan kebutuhan masyarakat. Kondisi ini akan semakin menjauhkan orang-orang dari partisipasi politik. Pihaknya melihat kecenderungan tersebut berdasarkan studi kualitatif yang dilakukan SatuDunia.
Sebagian di antara yang terpantau adalah belum diusungnya isu-isu lokal di sejumlah daerah pemilihan oleh para caleg dalam iklan kampanye yang ada. “Padahal caleg kan harusnya menjawab pragmatisme rakyat, (tapi ini) semakin dijauhkan,” sebut Anwari.
Hal serupa juga cenderung terjadi pada kampanye yang dilakukan masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden. Berdasarkan pantauan iklan kampanye yang dilakukan SatuDunia di empat stasiun televisi yakni Metro TV, TV One, SCTV, dan Global TV pada 24 Maret hingga 7 April, hal itu relatif tergambar jelas.
Diketahui bahwa konten iklan dengan topik gender atau perempuan, korupsi, keadilan hukum, lingkungan hidup, bencana alam, hoaks, dan disabilitas tidaklah ditemukan. Hanya ada paparan isu terkait demokrasi dan hak asasi manusia, ekonomi, serta keberagaman yang dipublikasikan.
Anwari, dalam paparannya pada diskusi di hari yang sama di Gedung Bawaslu, Jakarta mengatakan bahwa sejumlah isu masih dianaktirikan kedua pasangan capres-cawapres. Padahal isu-isu tersebut, bagi sebagian masyarakat di sejumlah daerah pemilihan terbilang penting.
Hal ini membuat partisipasi politik cenderung dapat berkurang. Anwari menambahkan, pihaknya bahkan menemukan sebagian kelompok menyatakan tidak bakal menggunakan hak pilih mereka bilamana sebagian isu yang dianggap penting bagi kelompok masyarakat itu tidak juga kunjung dibahas oleh masing-masing paslon.
Pemahaman KPPS
Sementara itu, dalam kesempatan terpisah di hari yang sama, Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby mengatakan bahwa potensi berkurangnya partisipasi pemilih juga berasal dari sulitnya pemahaman sebagian Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) tentang tiga kategori pemilih. Ketiganya adalah pemilih yang tercantum di dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap), DPTb (Daftar Pemilih Tambahan), dan DPK (Daftar Pemilih Khusus).
Alwan mengatakan, hal itu diketahui berdasarkan pantuan JPPR terhadap bimbingan teknis kepada KPPS di salah satu daerah. Alwan mengatakan terjadi kesulitan dalam memahami pemilih yang berkategori DPTb serta dalam memahami konteks pindah memilih dengan daerah pemilihan berbeda.
Ia mencontohkan, hal itu misalnya terjadi tatkala ada seorang pemilih menggunakan hak pilih dengan formulir A5 dari kecamatan lain yang berbeda. Alwan menyebutkan, sebagian KPPS kesulitan memahami berapa surat suara yang bisa diperoleh tatkala pemilih pindah dari provinsi lain ataupun kabupaten lain.
Selain itu, imbuh Alwan, terdapat pula keraguan KPPS terkait perkiraan ledakan pemilih DPK di sejumlah desa.
“Karena kebanyakan masyarakat ketika didata, banyak yang tidak berada di daerah tersebut, sehingga menyebabkan kekurangan kertas suara,” sebut Alwan.
Selain itu, Alwan mengatakan bahwa JPPR juga menemukan bahwa saat ini ada kekurangan sebanyak 15.231 surat suara di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Ini diketahui saat proses sortir dan pelipatan surat suara dimana kerusakan surat suara, salah cetak, dan warna yang tidak sesuai ditemukan di lapangan.
"Bisa berpengaruh dalam hal partisipasi karena berdampak pada pengguna hak pilih. Soal kekurangan logistik surat suara dampaknya juga sama, pada (potensi berkurangnya) tingkat partisipasi," sebut Alwan.