JAKARTA, KOMPAS – Integrasi yang lambat antar lembaga menjadi salah satu penyebab persoalan overcrowd, overstayed, hingga korupsi di Lembaga Pemasyarakatan tidak kunjung tuntas. Terkait hal itu, Komisi Pemberantasan Korupsi juga mendorong pemindahan lembaga pemasyarakatan khusus narapidana korupsi ke Nusa Kambangan untuk memutus rantai suap dan korupsi yang kerap terjadi.
Survei Integritas Lembaga Pemasyarakatan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2007 menunjukkan nilai 4,33. Pada 2008, nilai Survei Integritas tersebut turun menjadi 2,99. Salah satu indikator yang turun terkait kebiasaan menerima hadiah dari pihak luar, termasuk narapidana.
Selanjutnya mengacu pada Kajian Tata Kelola Sistem Pemasyarakatan 2018 dari KPK, ada temuan yang perlu diperbaiki. Antara lain, kerugian keuangan negara mencapai Rp 12,4 miliar per bulan berhubungan dengan penyediaan makanan di lembaga pemasyarakatan. Kemudian, lemahnya mekanisme check and balances dalam pemberian remisi, dan adanya pengistimewaan narapidana tindak pidana korupsi yang memicu suap dan korupsi.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Sri Puguh Budi Utami dalam diskusi media bertajuk “Menggagas Kualitas Lapas” di Gedung KPK Jakarta, Selasa (30/4/2019) menyampaikan, pihaknya telah merumuskan rencana aksi dari 18 rekomendasi yang diberikan KPK. Ia menjanjikan draf rencana aksi tersebut selesai pada Mei ini. Lalu pihaknya diberi waktu selama dua tahun mengeksekusinya untuk perbaikan lapas.
Ia menyampaikan, persoalan yang berujung pada korupsi ini bermula dari overcrowd dan overstayed. Mengacu data Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham, penghuni yang berstatus tahanan dan narapidana mencapai 265.807 orang dengan kapasitas maksimal 126.963 orang. Dari total tahanan dan narapidana, tahanan/napi korupsi sebanyak 5.107 orang.
Selain itu, dari total tahanan, 38 ribu orang merupakan tahanan golongan A1 hingga A5. Golongan ini terdiri dari tahanan penyidik, tahanan yang sedang dalam proses penuntutan, tahanan yang sedang menjalani persidangan, hingga tahanan yang sudah diputus tapi belum dipindahkan atau dibebaskan.
“Jadi, sudah putus dan hanya tinggal menunggu petikan putusan. Ini yang ditindaklanjuti oleh kami untuk membuat SOP (prosedur operasional terstandar). Penegak hukum juga perlu menyadari hal ini. Saat ini, baru 15 satuan kerja yang ada koneksi antarpenegak hukum untuk memantau kasus sehingga keterlambatan petikan putusan dan lain-lain dapat diatasi,” ujar Utami.
Akan tetapi, integrasi antar lembaga semacam ini bukan hal yang mudah di Indonesia. Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Gandjar Laksmana Bonaprapta menjelaskan, pemahaman bahwa integrasi dapat memudahkan kerja dan meminimalisir risiko ini belum diresapi oleh pimpinan lembaga.
“Indonesia ini suka memiliki kerajaan sendiri-sendiri sehingga sulit dipantau. Kalau terpusat, lebih mudah dikontrol. Pola pikirnya juga harus diubah menjadi bentuk kerja sama. Jangan berpikir karena ranah orang, lalu tidak boleh masuk. Boleh dengan koordinasi dan integrasi. Ini lebih patut dibangun, karena saya justru prihatin kalau bangun lapas terus berarti hukum gagal,” kata Gandjar.
Pindah Nusa Kambangan
Sementara itu, Ketua KPK Agus Rahardjo merujuk hasil kajian tersebut mendorong agar pemindahan narapidana korupsi untuk perkara yang masuk kategori \'big fish\' segera dilakukan tahun ini. Bahkan Agus telah meninjau sejumlah lapas di Nusa Kambangan yang dinilainya efektif sebagai penjeraan terhadap koruptor dan menghindari kontak dengan pihak luar yang berpotensi memunculkan tindak pidana korupsi baru.
“Jadi, untuk kategori mastermind yang ditaruh di sana. Dengan catatan, standar petugas dan aturan di Nusa Kambangan tidak diubah. Sejumlah Lapas yang saya tinjau itu betul-betul tidak ada kontak antara petugas lapas dengan narapidana. Karena kontak dengan petugas lapas ini yang mengakibatkan adanya praktik suap,” ungkap Agus.
Tidak hanya memindahkan, ketersediaan fasilitas mendasar seperti fasilitas kesehatan yang layak dan mudah dijangkau juga diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan izin berobat sehingga tidak perlu keluar dari pulau.
Sebelumnya, sempat muncul polemik di ruang publik soal mantan Ketua DPR Setya Novanto. Sebab, Novanto yang sedang izin berobat di RSPAD Gatot Soebroto atas permintaan dokter dari rumah sakit tersebut dan mendapat jaminan dari keluarga diduga justru sedang makan di sebuah restoran padang. Padahal Novanto didiagnosis penyakit jantung koroner, penyumbatan pembuluh darah, vertigo, hingga diabetes. Terkait hal itu, Utami menyampaikan bahwa Novanto saat itu butuh udara segar dan ingin makan bubur.