Masih Ada Hakim Nakal di Pengadilan
KPK menangkap hakim PN Balikpapan atas dugaan suap. Terkait hal itu, MA didorong melakukan evaluasi secara internal kenapa hakim mudah disuap.
JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Agung dinilai belum serius membenahi lingkungan peradilan di bawahnya. Ini setidaknya terlihat dari tertangkapnya hakim Pengadilan Negeri Balikpapan, Kayat, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atas dugaan penerimaan suap.
KPK menetapkan Kayat sebagai tersangka bersama dengan advokat Jhonson Siburian dan pihak swasta Sudarman, Sabtu (4/5/2019). Kayat dijerat dengan Pasal 12 Huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sementara Jhonson dan Sudarman selaku pemberi disangkakan dengan Pasal 6 Ayat 1 Huruf a atau Pasal 13 UU No 20/2001.
Kayat ditangkap KPK pada Jumat (3/5) di halaman PN Balikpapan. Ia diduga menerima uang Rp 100 juta dalam kantong plastik berwarna hitam yang diletakkan di dalam mobilnya oleh Jhonson. Uang itu berasal dari Sudarman yang pernah menjadi terdakwa perkara pemalsuan surat di PN Balikpapan.
Pada 2018, Kayat yang menangani perkara pemalsuan surat Sudarman menemui Jhonson, pengacara Sudarman. Kayat menawarkan bantuan untuk membebaskan Sudarman dengan imbalan Rp 500 juta.
”SDM belum bisa memenuhi permintaan KYT, tetapi ia menjanjikan akan memberikannya jika tanahnya yang ada di Balikpapan sudah laku terjual,” kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif saat jumpa pers.
Atas janji tersebut, pada Desember 2018, Sudarman yang oleh jaksa dituntut 5 tahun penjara bisa lepas dari tuntutan. Sebulan kemudian, Kayat menagih uang yang dijanjikan dan baru terealisasi Rp 100 juta yang diberikan pada 4 Mei saat akhirnya mereka ditangkap.
”Dalam hal ini, KPK sangat prihatin. Kepolisian dan kejaksaan telah bekerja sekuat tenaga mengungkap kasus ini (kasus pemalsuan surat). Tetapi, dalam proses peradilannya disesatkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan suap oleh hakimnya. Sedihnya lagi, dilakukan juga oleh penasihat hukum. Padahal, aparat penegak hukum ini harus paling bersih,” kata Syarif.
Hakim ke-25
Kejadian ini tidak sejalan dengan penghargaan yang sempat diterima MA terkait keberhasilan membangun Zona Integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi pada 2018. Kerja sama dengan KPK yang sudah dilakukan bertahun-tahun pun nyatanya belum banyak membuahkan hasil. Syarif pun menegaskan akan berkomunikasi dan memperkuat kerja samanya.
”Ada training yang sudah dilakukan KPK agar mereka bisa melakukan pengawasan terhadap hakim. Training ini sudah berjalan beberapa tahun lalu. Bahkan, ada metode mystery shopper yang dilakukan untuk memantau proses peradilan. Juga yang terbaru adalah kerja sama MA, KPK, dan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) untuk membenahi kualitas tata kelola, baik administrasi maupun keuangan, di MA,” kata Syarif.
Kayat menjadi hakim ke-25 yang ditangani KPK sejak 2004-2019 terkait kasus suap. Modus itu dilakukan dengan bertemu langsung ataupun via perantara dengan pihak berperkara, baik terdakwa maupun penasihat hukumnya. ”Secara etik saja sudah salah,” ujar Syarif.
Kepala Badan Pengawasan MA Sunarto mengatakan, pembenahan telah dilakukan jajarannya untuk menghilangkan berbagai bentuk suap dan korupsi yang selama ini terjadi di lingkungan peradilan. Perbaikan sistem sebagai bentuk transparansi proses peradilan juga terus dibangun. Peristiwa semacam ini dikembalikannya kepada individu.
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Yenti Garnasih, mendorong MA melakukan evaluasi. Ia menilai perilaku hakim yang mudah disuap erat dengan pelaksanaan asas keadilan dan keterbukaan di kalangan internal MA. Yenti pun meminta hakim yang diduga menerima suap ditindak tegas. Sebab, apabila hakim sudah terlibat suap, hal tersebut memperlihatkan bahwa penegakan hukum benar-benar telah runtuh.
Disparitas Putusan
Persoalan disparitas putusan di pengadilan juga menjadi sinyal dugaan adanya suap kepada hakim. Mahkamah Agung didorong serius menindaklanjuti banyaknya aduan tentang putusan tidak wajar untuk mengidentifikasi praktik suap kepada hakim.
Hal ini disampaikan Dosen hukum pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan.Putusan tidak wajar tersebut hendaknya dikaji secara obyektif dengan melibatkan elemen-elemen di luar MA, misalnya perguruan tinggi.
”Semua pengaduan mengenai keputusan tidak wajar segera dikaji, jangan dibiarkan. Kalau kita lihat, pengaduan itu banyak sekali,” ujar Agustinus.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyampaikan, peristiwa ini menunjukkan ketidakseriusan MA dalam membenahi dunia peradilan. Implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2018 yang mengatur pengawasan di lingkungan MA dan bertujuan mencegah terjadi suap dan tindak pidana korupsi dalam penanganan perkara pun dinilai gagal.
“Sistem pengawasan belum berjalan optimal. Perlu ada grand design pengawasan,” ujar Kurnia.
Ada tiga tahapan yang ditemukan ICW tentang korupsi di sektor peradilan dan tercermin dalam tiap perkara korupsi sektor peradilan yang ditangani KPK. Pertama, saat mendaftarkan perkara dengan meminta uang jasa. Kedua, tahap sebelum persidangan yang biasanya ditujukan untuk menentukan majelis hakim yang dikenal dapat mengatur putusan. Ketiga, saat persidangan dengan menyuap para hakim agar putusannya menguntungkan salah satu pihak.