Pemberian jatah komitmen fee Rp 11,5 miliar yang diterima bertahap oleh staf pribadi Menteri Pemuda dan Olahraga Miftahul Ulum dan staf protokol Kemenpora Arief Susanto dilakukan untuk kepentingan Menpora Imam Nahrawi.
Oleh
Riana A Ibrahim
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian jatah komitmen fee Rp 11,5 miliar yang diterima bertahap oleh staf pribadi Menteri Pemuda dan Olahraga Miftahul Ulum dan staf protokol Kemenpora Arief Susanto dilakukan untuk kepentingan Menpora Imam Nahrawi. Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi menilai, ada pemufakatan jahat secara diam-diam yang dilakukan dari Imam hingga Ulum.
Hal ini diungkapkan jaksa saat membacakan tuntutan terhadap Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI Johnny F Awuy di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (9/5/2019). Ending dan Johnny dinilai secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Ending dan Johnny dinilai terbukti memberikan satu Toyota Fortuner hitam, uang Rp 300 juta kepada Deputi IV Kemenpora Mulyana, dan kartu ATM debit BNI dengan saldo Rp 100 juta. Pemberian tersebut untuk memuluskan pengajuan proposal dana hibah untuk KONI Rp 47,9 miliar untuk pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga pada Asian Games dan Asian Para Games 2018 serta untuk pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi yang ditujukan bagi SEA Games 2019.
Atas perbuatannya, Ending dituntut pidana penjara selama 4 tahun dengan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan. Sementara Johnny dituntut pidana 2 tahun penjara dengan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan.
Peran Menpora
Tidak hanya membacakan amar tuntutan, jaksa juga menguraikan keterlibatan Menpora dan Ulum. Jaksa Ronald F Worotikan menyampaikan adanya penerimaan uang Rp 11,5 miliar dari KONI untuk kepentingan Menpora melalui Ulum dan Arief. Akan tetapi, Imam yang bersaksi pada Senin (29/4/2019) membantahnya dan mengaku tak tahu penerimaan uang itu.
”Bantahan itu haruslah dikesampingkan dengan alasan bahwa selain keterangan saksi tersebut, hanya berdiri sendiri, kesaksian tersebut juga tidak didukung alat bukti sah lainnya. Bantahan itu hanya merupakan usaha pembelaan pribadi saksi agar tidak ikut terjerat dalam perkara ini,” ujar Ronald.
Soal penerimaan uang itu tidak hanya diungkap Ending dan Johnny dalam kesaksiannya. Kepala Bagian Keuangan KONI Eni Purnawati, sopir Ending yakni Atam, hingga Ketua KONI Tono Suratman juga mengonfirmasi temuan itu dan menjelaskan mengenai adanya aliran dana.
Jaksa juga menjelaskan bukti lain berupa bukti transfer, rekening koran, hingga kesaksian pegawai BNI yang memperkuat adanya pengiriman uang dari Johnny ke rekening Ulum setelah diminta. Pengiriman uang dilakukan Johnny saat di Papua dan saat Ulum berada di Jeddah untuk menemani Menpora beribadah umrah sekaligus memenuhi undangan Federasi Paralayang di Jeddah. Uang yang dikirimkan berjumlah Rp 50 juta yang sebagian ditarik Ulum saat di Jeddah.
”Adanya keterkaitan antara bukti satu dan yang lain menunjukkan adanya bukti dan fakta hukum adanya keikutsertaan dari para saksi tersebut dalam suatu kejahatan yang termasuk dalam pemufakatan jahat yang dilakukan secara diam-diam atau sukzessive mittaterscraft,” kata Ronald.
Sebelum mengakhiri sidang tuntutan, Ketua Majelis Hakim Rustiyono menjadwalkan sidang dengan agenda pembacaan nota pembelaan untuk Ending dan Johnny pada pekan depan.