Menjaga Spirit Perempuan Antikorupsi
“Tahukah engkau semboyanku? \'Aku mau!\' Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung dan membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan. Kata \'Aku tiada dapat!\' melenyapkan rasa berani. Kalimat \'Aku mau!\' membuat kita mudah mendaki puncak gunung." - R.A Kartini
Peluang untuk mendorong keterwakilan perempuan di berbagai bidang, termasuk di sektor politik, pemerintahan, dan swasta sehingga dampak positifnya dirasakan publik perlu untuk terus dilakukan.
Spirit yang ditularkan Kartini melalui kutipan di atas dan menjadi inspirasi terbentuknya gerakan Saya Perempuan Antikorupsi yang mampu meruntuhkan sekat dan memberi kendali pada perempuan untuk berkiprah di tengah masyarakat, termasuk berperang melawan korupsi.
“Perempuan punya modal lebih banyak dengan karakteristik yang dimiliki. Saya yakin dunia akan menjadi lebih baik, jika perempuan diberi ruang dan kesempatan yang luas untuk berkarya. Di kabinet saat ini sudah ada 9 menteri, kalau perlu ditambah sampai 15-20 perempuan,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti saat hadir dalam acara bertajuk “Kartini Antikorupsi: Perempuan Bisa Apa dalam Mencegah Korupsi? Kekuatan Perempuan, Inspirasi Perubahan” di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK Jakarta, Jumat (27/4/2019).
Mengacu pada data yang dimiliki Inter-Parliamentary Union, keterwakilan perempuan di parlemen sebesar 18,2 persen, yakni hanya 102 orang dari 560 anggota DPR. Sedangkan, kuota yang diberikan sebesar 30 persen. Kendati demikian, persentase yang dimiliki Indonesia masih unggul dibandingkan sejumlah negara di Asia Tenggara, seperti Thailand, Brunei Darussalam, dan Malaysia.
Secara terpisah, Pengajar Gender dan Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia Ani Soetjipto menjelaskan, keterwakilan perempuan di parlemen dapat mempengaruhi kebijakan secara langsung melalui proses legislasi menyangkut persoalan hak perempuan dan keadilan demokrasi yang kadang tercerabut akibat korupsi.
Sesuai dengan penelitian berjudul “Women and Corruption: What Position Must They Hold to Make a Difference?” yang dilakukan Chandan Kumar Jha dan Sudipta Sarangi pada 2015, menemukan kehadiran perempuan di parlemen berpengaruh terhadap menurunnya tingkat korupsi, melalui kebijakan yang dihasilkan dan ketatnya pengawasan anggaran.
“Dengan catatan, keterwakilan perempuan tidak sekadar memenuhi alasan kesetaraan gender tapi memahami konsekuensi positif yang dihasilkan sehingga perempuan juga berhak atas posisi penting bukan hanya sebagai pengikut,” tulis Jha dan Sarangi.
Contohnya, kebijakan pro perempuan yang dihasilkan oleh anggota parlemen perempuan dapat meningkatkan taraf hidup perempuan di negara tersebut, baik dari segi pendidikan, kesehatan, hingga kesetaraan untuk memperoleh pekerjaan. Di sejumlah negara, kesadaran perempuan untuk tidak ikut menerima suap dan menghindari korupsi pun meningkat seiring dengan kenaikan taraf hidupnya.
Keterwakilan perempuan tidak melulu melalui jalur parlemen. Tuti Kurniawati yang merupakan agen Saya Perempuan Anti Korupso dari Yogyakarta membuktikan peran perempuan lewat akses yang berbeda. Hidup dengan mengurus anaknya yang didiagnosa cerebral palsy, tidak menyurutkan Tuti untuk berkontribusi memajukan masyarakat di lingkungannya dan memberikan pemahaman mengenai nilai antikorupsi, perilaku korup, serta contoh riil dalam kehidupan sehari-hari.
“Enggak gampang. Kadang dibilang sok suci. Tapi karena niatnya baik, kami tetap lanjut. Alhamdulillah ada hasilnya untuk ibu-ibu di sana,” ujar Tuti yang menyampaikan juga para ibu di daerahnya mulai berani menolak pungutan liar di lingkungannya, bahkan kritis terhadap pengelolaan dana desa yang tidak sesuai tujuan.
Pengawasan dana desa oleh para ibu ini meluaskan cakupan kemampuannya tidak lagi di ranah domestik hanya sebatas mengatur keuangan keluarga, tapi menjadi sebuah gerakan kontrol publik terhadap suatu kebijakan yang juga bertujuan meningkatkan taraf hidup perempuan sehingga menjadi lebih berdikari.
Susi juga mencontohkan para perempuan di Pangandaran, Jawa Barat. Kemampuannya mengelola keuangan keluarga, lanjut Susi, berdampak pada peningkatan ekonomi dan indeks pembangunan manusia di wilayah tersebut. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Pangandaran pada 2017 tercatat 66,60, meningkat dibandingkan 2016 sebesar 65,79.
Banyaknya perempuan di dunia bisnis juga memberi warna perubahan. Ahli Pembangunan Integritas PT Johnson Johnson Indonesia Yulia Sari menuturkan, perempuan dengan karakteristiknya mampu menjaga kepercayaan, lebih patuh, dan teliti,menjadi kelebihan tersendiri untuk menghindari korupsi. Karena itu, keterbukaan akses bagi perempuan perlu terus dikembangkan.
Indeks yang dikeluarkan Bank Dunia berjudul “Women, Business, and The Law 2019: A Decade of Reform” dibandingkan dengan Indeks Persepsi Korupsi milik Transparency International juga menegaskan hubungan perempuan dan tingkat korupsi. Negara yang indeks WBL mencapai skor tinggi, skor IPK juga tinggi.
Denmark, Belgia, Luxembourg, Swedia, dan Austria masuk jajaran 10 besar dalam indeks WBL 2019 karena memberikan akses dan hak yang baik bagi perempuan untuk bekerja dan berkontribusi di masyarakat. Begitu pula, IPK kelima negara itu juga masuk 10 besar terbaik karena tingkat korupsinya rendah.
Indonesia berada pada peringkat 149 dari 195 negara yang disurvei dengan skor 64,38 dalam indeks WBL 2019. Sementara itu, IPK Indonesia berada pada peringkat 89 dari 180 negara yang disurvei dengan skor 38 pada 2018.
Potensi besar yang dapat disumbangkan perempuan ini sejatinya dikembangkan dan dijaga sendiri agar tidak ternodai. Tulisan Bjorn Frank, Johann Graf Lambsdorff, dan Frederic Boehm berjudul Gender and Corruption: Lessons from Laboratory Corruption Experiments yang dimuat di The European Journal of Development Research menyatakan minimnya keterlibatan perempuan dalam korupsi karena perempuan lebih berhati-hati melihat risiko.
“Apabila ada yang kemudian tersangkut dengan tindakan korup bisa jadi disebabkan karena dorongan pribadi dan merasa aman saat melakukan. Tapi umumnya, saat dihadapkan pada situasi seperti itu (diajak terlibat korupsi) perempuan akan menolak karena mempertimbangkan risiko,” tulis Frank, Lambsdorff, dan Boehm.
Sejalan dengan data yang dimiliki KPK, pelaku korupsi perempuan tercatat 92 orang dari total keseluruhan 887 kasus yang ditangani sejak 2004-2019. Dari 92 orang itu, sebagian besar hanya bertindak sebagai perantara bukan pelaku utama. Namun untuk sebagian kecil yang menjadi pelaku utama, dorongan pribadi menjadi alasan. Salah satu contoh Bupati Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip yang belum lama ini ditangkap tangan pada 30 April 2019 karena menerima barang-barang mewah dibarter dengan proyek untuk masyarakat.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menambahkan, kesempatan yang besar untuk perempuan berkarya sangat penting. Namun, penting untuk kembali pada nilai untuk hidup sederhana dan menanamkannya di tengah keluarga sehingga hadirnya perempuan bukan menjadi bumerang yang justru ikut mendorong laki-laki atau komunitasnya untuk melakukan korupsi.
“Nilai di keluarga ini merupakan tonggak awal. Perempuan harus menjadi garda depan dalam menularkan di lingkungan terkecil, yaitu keluarga. Sebelum terjun ke masyarakat,” ujar Basaria.
Karena sejatinya, perempuan adalah pelita, baik di keluarga maupun masyarakat, yang akan menghasilkan generasi berintegritas untuk Indonesia yang lebih baik.