Penggunaan istilah makar dalam penegakan hukum seyogianya ditinjau ulang. Pengkajian penggunaan kata ini penting menyusul relatif sering dan cenderung berlebihannya penggunaan istilah makar.
Oleh
Ingki Rinaldi
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan istilah makar dalam penegakan hukum seyogianya ditinjau ulang. Pengkajian penggunaan kata ini penting menyusul relatif sering dan cenderung berlebihannya penggunaan istilah makar. Delik makar belakangan ini banyak digunakan dengan tafsir yang bermacam-macam.
Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Arsil, dalam diskusi bertajuk ”Menalar Makar: Miskonsepsi Delik Makar dalam Penegakan Hukum” di Jakarta, Rabu (15/5/2019), mengatakan, kata ”makar” awalnya berasal dari bahasa Arab. Kata ini dijadikan padanan untuk istilah aanslag dalam bahasa Belanda yang menjadi kata asal tindakan melawan hukum tersebut dan diartikan sebagai serangan dengan kekerasan (violent attack). Padahal, makar dalam istilah aslinya itu tidak serta-merta berarti tindakan serangan dengan kekerasan.
”Istilah makar jadi (seperti) karet karena bisa dimaknai siapa pun, bisa juga dimaknai (untuk tindakan) apa pun dalam hukum pidana,” kata Arsil.
Karena itulah, Arsil mengusulkan agar istilah makar diganti saja dengan serangan. Hal ini setidaknya membatasi sesuai dengan makna dari asalnya bahwa makar merupakan hal berbeda dengan serangan.
Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Anugerah Rizki Akbari, menambahkan, relatif banyaknya tuduhan makar yang belakangan ini muncul disebabkan kata tersebut bisa ditafsirkan dengan macam-macam hal. Padahal, menurut dia, makar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak bisa dilekatkan begitu saja pada tindakan sebagian orang yang berkoar-koar dengan nilai-nilai yang berbeda dibandingkan penguasa.
Makar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak bisa dilekatkan begitu saja pada tindakan sebagian orang yang berkoar-koar dengan nilai-nilai yang berbeda dibandingkan penguasa.
Rizki mencontohkan, tindakan sebagian orang yang meneriakkan dan mengajak orang untuk people power mestinya dikenai Pasal 160 KUHP terkait tindak pidana penghasutan dan bukannya makar. Atau contoh lain, demonstrasi yang berujung rusuh dengan secara terang-terangan melakukan perusakan mestinya dijerat Pasal 170 KUHP terkait penggunaan kekerasan terhadap orang dan barang secara terang-terangan.
Sementara itu, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati pada kesempatan yang sama menyampaikan, imajinasi tentang negara yang diserang sebagaimana dimaksud dalam tindakan makar mestinya sudah berakhir. Hal ini seiring dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor II/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.