Shangri-La Dialogue yang diadakan lembaga kajian International Institute for Strategic Studies atau IISS merupakan titik temu informal antara pembuat kebijakan pertahanan, peneliti, industri, dan berbagai kalangan yang berkepentingan di kawasan Asia Pasifik. Seiring dengan meningkatnya ekonomi di kawasan tersebut, pertemuan yang diawali pada 2002 ini menjadi kian penting. Walau bukan satu-satunya pertemuan dengan tema pertahanan dan keamanan di kawasan, pertemuan ini cukup jadi barometer.
Dalam acara tersebut, para menteri pertahanan diberi kesempatan untuk berbicara di enam pleno. Menhan RI Ryamizard Ryacudu berkesempatan berbicara dalam pleno keenam bersama dengan Menhan Selandia Baru Ron Mark dan Menhan Singapura Ng Eng Hen, Minggu (2/6/2019).
Ryamizard memaparkan pandangan Indonesia yang menggarisbawahi perlunya ASEAN memiliki agenda sendiri di tengah kompetisi ketat Amerika Serikat dan China di kawasan Asia Pasifik. ASEAN yang telah lama bersatu memiliki arsitektur keamanan untuk ketahanan demi mengatasi ancaman yang hadir di kawasan. ASEAN telah memiliki tiga kerja sama patroli di tiga wilayah perairan kawasan, yaitu Selat Malaka, Teluk Thailand, dan Laut Sulu, serta pertukaran informasi dan intelijen Our Eyes. Menurut Ryamizard, ancaman terbesar di kawasan saat ini, khususnya ASEAN, adalah ancaman nontradisional, seperti terorisme, bencana alam, radikalisme, dan kejahatan siber.
Yang menarik, dalam pleno tersebut, pertanyaan terbanyak (empat pertanyaan) ditujukan kepada Ryamizard
Yang menarik, dalam pleno tersebut, pertanyaan terbanyak (empat pertanyaan) ditujukan kepada Ryamizard. Ini masih ditambah dengan tiga pertanyaan untuk masing-masing Menhan RI dan Singapura, serta tiga pertanyaan untuk semua menhan. Menhan Singapura mendapat tiga pertanyaan, sedangkan Menhan Selandia Baru satu pertanyaan.
Liselotte Odgaard, penasihat senior Kementerian Luar Negeri Denmark, menilai, Indonesia selama ini berperan penting dalam meningkatkan kerja sama dalam mengatasi potensi konflik di Laut China Selatan (LCS). Pertanyaannya, apakah ada keterbukaan untuk memberikan peran pada negara di luar kawasan seperti Uni Eropa.
Direktur Eksekutif IISS Asia Tim Huxley meminta Ryamizard menjelaskan tentang ASEAN yang bersatu serta bagaimana ASEAN bisa merespons untuk meningkatkan ketahanan di kawasan Asia Tenggara. Hal senada ditanyakan Ravi Velloor, editor The Straits Times Singapura, yang menggarisbawahi bahwa di Shangri-La Dialogue 2019, wacana Indo-Pasifik begitu mengemuka, apalagi muncul istilah strategi Indo-Pasifik dari AS. Ditanyakan apakah ASEAN dan Indonesia memiliki pandangan tersendiri soal ini dan kemungkinan ASEAN membentuk kebijakan pertahanan seperti di Uni Eropa.
Indonesia selama ini berperan penting dalam meningkatkan kerja sama dalam mengatasi potensi konflik di Laut China Selatan (LCS). Pertanyaannya, apakah ada keterbukaan untuk memberikan peran pada negara di luar kawasan seperti Uni Eropa.
Menjawab rentetan pertanyaan ini, Ryamizard merujuk pada pertemuannya dengan pejabat pertahanan China di Shangri-La Dialogue 2016. Saat itu, Ryamizard menekankan pentingnya keterbukaan China terkait soal LCS. Terkait ASEAN, ia menyatakan, walau masih ada riak-riak seperti masalah Rohingya, ASEAN memiliki kepentingan yang sama soal LCS, yaitu keamanan demi kemakmuran bersama.
Peneliti IISS, Aaron Connelly, mempertanyakan efektivitas dari Program Bela Negara serta mengapa sebuah kementerian pertahanan menjalankan program indoktrinasi politik. Terkait hal ini, Ryamizard menekankan bahwa inti Bela Negara adalah untuk melawan ideologi transnasional dengan ideologi nasionalisme Indonesia, yaitu Pancasila.