JAKARTA, KOMPAS— Kepolisian Negara Republik Indonesia memastikan, korban meninggal dalam kerusuhan pada 21-22 Mei lalu tidak semuanya akibat terkena tembakan. Korban ada juga yang tewas karena kekerasan benda tumpul. Bisa terkena batu oleh perusuh lain, bisa terkena pukulan petugas.
Perusuh tidak berasal dari satu kelompok, tetapi dari sejumlah daerah. Mereka pun tidak kenal satu sama lain. Ada korban yang mengalami luka tembak. ”Saat ini belum bisa disimpulkan. Masih dalam penelitian tim karena harus uji balistik sejumlah senjata di tempat kejadian,” ujar Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian seusai apel konsolidasi Operasi Ketupat 2019 dan persiapan pengamanan sidang perselisihan hasil pemilu di lapangan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Kamis (13/6/2019).
Peluru yang keluar dari senjata polisi, ujar Tito, akan diselidiki motifnya, yaitu untuk membela diri atau tindakan berlebihan. Bisa jadi pelaku penembakan dari pihak ketiga.
Tito menjelaskan, lebih sulit membuktikan luka tembak jika proyektil tidak ditemukan. Kecuali ada video atau foto yang menunjukkan asal tembakan. Itu pun tak bisa dibedakan apakah peluru karet atau tajam.
Proyektil yang ditemukan adalah kaliber 5,56 milimeter (mm) dan 9 mm. Dari dua proyektil itu bisa ditelusuri siapa yang menembak.
Investigasi internal
Di Markas Besar Polri, Kamis, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal menuturkan, ada sembilan korban tewas dalam kerusuhan pasca-unjuk rasa damai di Jakarta, 21-22 Mei lalu. Polri masih melakukan investigasi internal atas kasus itu. Penyelidikan didasari proses ilmiah untuk menemukan titik terang dari kasus tersebut, termasuk pelaku penembakan.
Tim investigasi internal yang dipimpin Inspektur Pengawas Umum Polri Komisaris Jenderal Moechgiyarto tak hanya fokus mengungkap penyebab ada korban tewas, tetapi juga penyebab kerusuhan. Tim menelusuri bagaimana perusuh bisa datang ke lokasi peristiwa, asal mereka, dan hubungannya dengan tokoh yang dianggap bertanggung jawab dalam aksi tersebut.
Iqbal mengatakan, sebagian besar dari sembilan korban tewas itu diduga akibat luka tembak. Identifikasi korban belum rampung. Polri perlu melakukan uji laboratorium forensik dan uji balistik untuk mengidentifikasi jenis senjata api.
Pelaku penembakan diduga merupakan pihak ketiga yang menginginkan unjuk rasa damai menjadi kacau. Dugaan itu didasari pengungkapan kasus rencana pembunuhan terhadap empat pejabat negara dan temuan anggota kelompok teroris yang ingin memanfaatkan momentum demonstrasi itu.
Namun, Iqbal mengungkapkan, pelaku penembakan bisa juga anggota Polri. ”Tolong dipahami, petugas yang dimaksud bukan yang mengamankan unjuk rasa. Petugas diserang dan dijarah karena ada markas dan fasilitas kepolisian yang diserang,” kata Iqbal.
Menurut Tito, dua tim melakukan pendalaman. Tim pertama mendalami 447 orang yang ditahan polisi, apakah ada yang mengorganisasi. Tim juga menyelesaikan pemberkasan kasus untuk diserahkan ke kejaksaan. Tim kedua menginvestigasi korban dari pihak aparat dan masyarakat guna memastikan perusuh atau warga biasa. Tim bekerja paralel dengan Komnas HAM.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menekankan, Polri perlu segera mengumumkan hasil identifikasi sembilan korban pada kerusuhan itu. Ia berharap Polri membuka data kekerasan selama unjuk rasa itu, termasuk yang dilakukan oknum aparat.
”Polri perlu melakukan penegakan hukum terhadap mereka yang melakukan kekerasan. Hukum harus ditegakkan Polri tanpa diskriminasi dan tidak memandang latar belakang individu itu,” kata Asfinawati.
Keterbukaan data tersebut, ujarnya, adalah wujud akuntabilitas dan perimbangan yang dilakukan Polri selain penegakan hukum terhadap kasus lain, seperti dugaan makar dan penyerangan terhadap aparat.
Bukan perusuh
Agus Salim (49), ayah dari Muhammad Raihan Fajari (15), warga Petamburan, Jakarta Barat, yang tewas dalam kerusuhan pasca-pemilu, memastikan anaknya bukan perusuh. Anaknya sedang bekerja bakti di Masjid Al Istiqamah pada 22 Mei 2019 sekitar pukul 02.00. Raihan dan temannya ke Jalan KS Tubun, Jakarta, karena mendengar ada kerusuhan.
”Anak saya dan temannya itu mau pulang karena melihat situasi tidak kondusif. Saat mau pulang, anak saya tertembak,” ujar Agus, Kamis, di rumahnya.
Setelah tertembak, lanjutnya, Raihan masih bernapas, tetapi tidak sadar. Korban dibawa ke Masjid Al Barokah lalu dilarikan ke Rumah Sakit Angkatan Laut Mintohardjo, tetapi akhirnya meninggal. Keluarga belum mendapatkan hasil otopsi.
Syafri Alamsyah (58), orangtua dari korban Farhan Syafero (31), secara terpisah, meminta pemerintah memberikan perhatian kepada kedua anak Farhan yang baru berusia lima dan dua tahun. ”Farhan meninggal dengan luka di bawah leher tembus ke belakang. Lebar lubangnya, baik yang di depan maupun di belakang, sama,” ungkapnya.
Nurwarsito (42), orangtua Adam Nooryan (18), korban tewas dalam kerusuhan di Tanah Abang, memastikan korban bukanlah perusuh. Adam pergi ke lokasi kerusuhan itu tanpa sepengetahuan orangtuanya.
Terkait kasus yang membelit Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen, yang diduga terkait pula dengan Komisaris Jenderal (Purn) Sofjan Yacoeb, Kapolri menyatakan, penanganannya menimbulkan ketidaknyamanan bagi Polri. Namun, penegakan hukum harus dilakukan. Kasus Kivlan berbeda dengan perkara yang menyangkut Mayjen TNI (Purn) Soenarko.
(SAN/WAD/JOG/RTS)