JAKARTA, KOMPAS— Internet menjadi medium penyebaran paham terorisme yang paling efektif saat ini. Selain strategi yang bersifat menyeluruh, dibutuhkan kerja sama antarnegara, lintas instansi bahkan antara pihak swasta dan pemerintah untuk mengatasinya.
”Kawasan Indo-Pasifik dihadapkan pada ancaman pola pikir yang bersifat ideologis. Itu sekarang ancaman yang paling berbahaya,” kata Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu saat membuka Indonesia International Defense Science Seminar yang diselenggarakan oleh Universitas Pertahanan, Senin (8/7/2019).
Ryamizard mengatakan, berbagai aktor non-negara berusaha menyatukan dan merasionalisasikan paham asing. ”Ancaman terorisme dan ancaman pola pikir saling terkait. Mereka akan berusaha secara sistematis untuk memengaruhi masyarakat,” ujarnya.
Sesi pertama rangkaian seminar dengan tema ”New Conceptions and Strategies in Countering Terrorism and Cyber Threats” ini membahas tentang berbagai strategi dan kerja sama yang diperlukan mengatasi ancaman terorisme yang menyebar lewat internet. Joao Miguel de Almeida Madaleno dari European Security and Defense College mengatakan, di Eropa ada pola yang menarik terkait gerakan terorisme di internet. Propaganda di dunia maya, terutama di media sosial, digunakan untuk radikalisasi, perekrutan, dan pengumpulan dana. Hal ini membuat semakin banyaknya serangan terorisme selama 2014-2017. ”Kualitas serangan berkurang, tetapi jumlahnya bertambah,” kata Joao.
Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) RI Hinsa Siburian mengatakan, terorisme di dunia siber hanya salah satu lapisan dari semua masalah yang bisa terjadi di ruang siber. Ia mengatakan, secara teori ada tiga kluster yang digunakan siber terorisme. Kluster pertama terkait dengan memampukan, yaitu proses radikalisasi dan perekrutan. Kluster kedua adalah tingkat mengganggu. Kluster ketiga adalah tingkat menghancurkan.
”Indonesia masih belum memiliki undang-undang keamanan nasional. Akan tetapi, saya berterima kasih kepada DPR karena sudah ada RUU Keamanan Siber,” kata Hinsa. Regulasi ini akan menjadi dasar bagi Indonesia untuk membuat strategi mengatasi kejahatan di dunia siber. Menurut Hinsa, ada tiga faktor utama kejahatan siber, yaitu manusia, teknologi, dan proses. ”Yang paling mahal memang teknologi, tetapi yang paling penting adalah manusianya,” katanya.
Sementara Jim Chen dari National Defense University, AS, menekankan pentingnya kerja sama antara pemerintah dan swasta. Dasar utama kerja sama adalah kepercayaan, saling pengertian, upaya yang setara, hubungan baik dan keinginan untuk berbagi. ”Kerja sama antara swasta dan pemerintah ini, di AS dan Inggris, telah menjadi dasar untuk strategi nasional siber,” kata Jim.
Ia mengatakan, ada berbagai metode kerja sama. Akan tetapi, semua metode ini membutuhkan kepemimpinan, team building, anggaran, sumber daya, dan strategi. (EDN)