Keputusan Koalisi Perlu Utamakan Kepentingan Rakyat
Sikap Joko Widodo sebagai tokoh kunci koalisi partai sekaligus Presiden terpilih 2019-2024 akan menentukan arah kerja sama yang mungkin terbentuk pasca-pertemuan dan silaturahmi politik dalam dua pekan terakhir. Sikap apa pun yang diambil seyogianya tetap memperhatikan rakyat sebagai subyek utama dalam praktik dan cita-cita politik kebangsaan.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sikap Joko Widodo sebagai tokoh kunci koalisi partai sekaligus presiden terpilih 2019-2024 akan menentukan arah kerja sama yang mungkin terbentuk pasca-pertemuan dan silaturahmi politik dalam dua pekan terakhir. Sikap apa pun yang diambil seyogianya tetap memperhatikan rakyat sebagai subyek utama dalam praktik dan cita-cita politik kebangsaan.
Sabtu kemarin, giliran Ketua Majelis Syariah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Maimoen Zubaer yang bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri. Ulama sepuh Nahdlatul Ulama (NU) yang akrab dipanggil Mbah Moen tersebut berkunjung ke kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, dengan didampingi putranya yang juga Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen. Pertemuan yang dimulai sekitar pukul 13.00 itu berlangsung sekitar dua jam.
Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani mengatakan, pertemuan antara Mbah Moen dan Megawati itu sifatnya kekeluargaan. Hari Minggu (28/7/2019), Mbah Moen berangkat menunaikan ibadah haji sehingga minta didoakan dan berpamitan kepada Megawati. ”Mbah Moen naik haji dan pamitan, minta didoakan semoga lancar dan kembali ke Indonesia dengan selamat,” kata Arsul, Minggu, di Jakarta.
Dalam pertemuan itu, Mbah Moen menyampaikan sejumlah hal yang terkait dengan persoalan keumatan. Megawati adalah Ketua Umum PDI-P, partai pemenang pemilu dan peraih kursi terbesar di Parlemen sehingga Mbah Moen yang selama ini konsen dengan masalah keumatan perlu membahas program-program yang terkait dengan lembaga keagamaan dan pondok pesantren.
”Program-program terkait dengan ekonomi keumatan atau kerakyatan sebenarnya sudah ada di dalam visi-misi Pak Jokowi, dan hal itu juga telah disampaikan kepada Pak Jokowi. Tetapi bagaimanapun Bu Mega adalah Ketum PDI-P, pemenang pemilu, dan peraih kursi terbesar sehingga Mbah Moen titip kepada Bu Mega supaya program ini dilaksanakan dan jadi fokus,” kata Arsul.
Perhatian kepada persoalan keumatan, utamanya bagi pesantren, menurut Arsul, sangat penting karena mereka selama ini setia pada perjuangan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalangan Islam tradisional ini, dengan demikian, sekaligus salah satu basis penyokong berdirinya NKRI dan ideologi Pancasila. Perhatian kepada kalangan Islam tradisional juga diharapkan bisa menangkis maraknya pandangan radikal dan ideologi transnasional.
Islam tradisional inilah yang benar-benar setia NKRI nett, bukan plus-plus, yang lirak-lirik ideologi transnasional. Mbah Moen konsen dengan meningkatnya penyebaran paham radikal.
Hal-hal yang disampaikan Mbah Moen dalam pertemuan dengan Megawati, kemarin, antara lain selaras dengan hasil rekomendasi alim ulama PPP saat mengusung Jokowi. Ulama saat itu merekomendasikan agar ada alokasi anggaran yang jelas bagi pendidikan pesantren, tidak hanya untuk pendidikan umum.
”Saat ini kan perhatian Pak Jokowi pada pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Jangan kemudian anggaran pendidikan 20 persen itu hanya fokus pada pendidikan umum, tetapi juga perlu atensi pada pesantren, madrasah, dan sekolah-sekolah keagamaan lainnya, seperti sekolah minggu. Semua itu harus diberi anggaran yang cukup,” katanya.
Pertemuan Mbah Moen dengan Mega, menurut Arsul, tidak menyinggung koalisi atau formasi kabinet. ”Hal itu bukan menjadi konsen Mbah Moen,” katanya.
Tunggu Jokowi
Terkait dengan dinamisnya komunikasi politik pasca-pemilu yang ditandai dengan berbagai pertemuan elite politik, menurut Arsul, itu fenomena yang wajar. Soal apakah Gerindra yang mengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno akan masuk ke pemerintahan, sepenuhnya tergantung dari Jokowi sebagai Presiden terpilih.
”Kalau ada yang berpandangan partai koalisi pengusung Jokowi keberatan dengan penambahan anggota koalisi karena takut jatahnya hilang, sebenarnya bukan begitu. Yang menjadi pertanyaan ialah apakah chemistry mereka bisa nyambung dengan kami yang sudah bersama-sama selama setahun ini. Yang kedua, ada pandangan bahwa konsistensi dalam sikap politik itu sangat penting karena hal itu merupakan bentuk komitmen kita kepada rakyat,” katanya.
Namun, menurut Arsul, sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia memungkinkan untuk dihilangkannya sekat-sekat perbedaan politik itu. Berbeda dengan sistem parlementer. Bahkan, dalam sistem ketatanegaraan, negara demokrasi yang mapan, seperti Amerika Serikat dan Inggris, bukanlah hal tabu mengajak masuk kelompok yang berseberangan garis politik.
Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding mengatakan, Jokowi belum bertemu dengan semua anggota partai koalisi. Jadi atau tidaknya penambahan koalisi pendukung pemerintahan tergantung dari dua hal, yakni sikap dan arahan Jokowi serta sikap partai Koalisi Indonesia Kerja (KIK).
Kalau Gerindra jadi bergabung, menurut Karding, pilihannya ialah koalisi terbatas pada legislatif saja, ataukah koalisi total di eksekutif dan legislatif. Koalisi terbatas dimaknai Gerindra hanya mendapat posisi tertentu di DPR atau MPR dan tidak mendapatkan posisi menteri. Adapun koalisi total, artinya ada kerja sama, baik di eksekutif maupun di legislatif.
”Kalau koalisi total, bisa saja Gerindra mendapatkan kursi menteri karena koalisi tidak terbatas di legislatif saja,” ujarnya.
Pertimbangkan rakyat
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Aditya Perdana mengatakan, dinamika politik belakangan ini menarik karena sekat-sekat perbedaan politik mulai mencair. Hal itu ditandai dengan rangkaian pertemuan elite politik. Argumen yang tengah dibangun dalam pertemuan itu antara lain rekonsiliasi, musyawarah mufakat, dan silaturahmi. Namun, di atas semua dinamika politik yang terjadi itu, perlu pula dipertimbangkan rakyat yang telah menjatuhkan pilihannya dalam pemilu.
”Dalam dua pemilu terakhir, karena hanya ada dua calon presiden, terlihat ada konsistensi dukungan kepada kedua pihak. Dalam Pemilu 2019, hal itu diakumulasi dengan politik pembelahan yang membuat lelah semua pihak. Emosi rakyat dimainkan. Tetapi, ujung-ujungnya, ketika pemilu usai, ternyata keputusan elite politiklah yang menentukan segalanya. Kalau begitu saja akhirnya, untuk apa pemilu? Dari sisi ini, elite politik perlu bijak melihat situasi agar rakyat tidak merasa dibohongi,” katanya.
Idealnya, mereka yang ada di pemerintahan adalah mereka yang berkoalisi mengusung capres-cawapres pemenang pemilu. Namun, dalam sistem presidensial seperti Indonesia, menurut Aditya, ada celah bagi kelompok yang kalah untuk masuk juga dalam pemerintahan karena presidenlah yang menentukan formasi kabinet.
Sisi positif dari dinamika politik kita belakangan ini ialah mulai timbulnya kesadaran pentingnya oposisi dalam sistem politik di Tanah Air. Ini sehat bagi demokratisasi.
Pertemuan dan kerja sama antarelite politik di sisi lain baik untuk meredakan pembelahan di akar rumput. Hanya saja, yang harus diperhatikan ialah suara rakyat dalam pemilu. Menurut Aditya, pihak-pihak yang berkompetisi dalam pemilu di sisi lain juga harus konsisten memperjuangkan platform mereka yang menjadi alasan bagi rakyat memilih mereka di dalam pemilu. Dengan cara itulah, suara rakyat dalam pemilu dihargai.