Sejumlah kepala daerah ditangkap dalam kasus jual beli jabatan. KASN menemukan, praktik tersebut terjadi di 95 persen pengisian jabatan di kabupaten/kota seluruh Indonesia. KPK pun banyak menerima pengaduan serupa.
JAKARTA, KOMPAS - Praktik jual beli jabatan di lingkungan pemerintahan, baik pusat maupuan daerah, terjadi secara masif. Praktik ini merajalela diduga karena lemahnya faktor pengawasan dalam pengisian jabatan.
Mengacu pada hasil penelitian Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang dilakukan sepanjang 2019 di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota, transaksi dalam pengisian jabatan di lingkungan pemerintah kabupaten/kota mencapai 95 persen. Pemerintah provinsi menempati posisi kedua dalam hal ini, yakni 89,5 persen.
Sementara jual beli jabatan di lembaga sebesar 49 persen, dan di level kementerian 39,5 persen. Sebagian pengisian jabatan pimpinan tinggi, administratur, dan pengawas tidak dilaksanakan dengan sistem merit.
Kondisi ini sesuai dengan laporan yang diterima Komisi Pemberantasan Korupsi. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Rabu (31/7/2019), di Jakarta, mengungkapkan, pihaknya menerima banyak laporan masyarakat terkait jual beli jabatan. Sejumlah perkara jual beli jabatan yang ditangani lembaga ini merupakan tindak lanjut dari pengaduan masyarakat.
Pengawasan
Ketua KASN Sofian Effendi mengakui bahwa praktik jual beli jabatan yang terjadi di daerah berada dalam level yang belum bisa dikendalikan. KASN sulit mengawasi karena keterbatasan sumber daya. ”Pengawasan efektif memang baru terlaksana di tingkat pusat,” ujarnya.
Menurut Sofian, akar masalah jual beli jabatan ada pada Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Pasal tersebut memberikan wewenang kepada pejabat politik di setiap instansi untuk menjadi pejabat pembina kepegawaian (PPK). Adapun PPK berwenang penuh atas penetapan, pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian ASN.
”Pejabat politik sekaligus PPK berpotensi menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi,” ujar Sofian.
Untuk menghentikan jual beli jabatan, menurut Sofian, perlu ada revisi UU 5/2014. Jabatan PPK semestinya diampu oleh pejabat karier tertinggi di setiap instansi, yaitu sekretaris jenderal di kementerian/lembaga dan sekretaris daerah di pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Berbeda dengan Sofian, Marwata menuding minimnya pengawasan terhadap pemda sebagai faktor penyebab maraknya praktik jual beli jabatan. Kondisi ini dipengaruhi salah satunya oleh kuantitas dan kualitas Aparatur Pengawasan Intern Pemerintah.
”Solusinya selalu ada. Yang terpenting adalah pengawasan melalui inspektorat. Saat ini, saya berpendapat inspektorat itu nyaris tidak ada fungsinya,” kata Marwata.
Sementara itu, Kepala Biro Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Mudzakir menilai, perlu ada kajian mendalam untuk mengetahui penyebab jual beli jabatan. Sebab, UU ASN sudah menutup celah itu. ”Jika praktik jual beli jabatan masih ada, aparat penegak hukum terkait harus menindak,” ujarnya.