Medsos Jadi Alat Merekrut Anggota Kelompok Teroris
JAKARTA, KOMPAS - Kompleksitas jejaring komunikasi digital yang saling terhubung dan sebagian menyebabkan disinformasi, ujaran kebencian, dan ekstremisme di internet membutuhkan respon terukur untuk menghadapinya. Pertanggungjawaban perusahaan raksasa teknologi penyedia layanan media sosial menjadi salah satu fokus yang mesti diperhatikan.
Sebagian hal itu muncul dalam konferensi bertajuk “Antara Kebebasan dan Pembatasan: Hoaks dan Ekstrimisme di Internet,” Jumat (25/10/2019) di Jakarta. Konferensi yang diselenggarakan Goethe-Institut, Center for Digital Society (CfDS), dan ICT Watch itu menghadirkan sejumlah pembicara dari Indonesia, Jerman, Myanmar, dan Singapura.
Pakar isu terorisme, Nasir Abas, yang menjadi salah seoorang pemateri menyebutkan, media sosial telah menjadi alat untuk merekrut anggota bagi jejaring kelompok teror. Ajaran-ajaran teror yang menyusup dalam sebagian pengajaran agama dan pendidikan militer dari sejumlah organisasi yang menganut ideologi teror dapat disebarkan dengan relatif mudah lewat media sosial.
Salah satu wujudnya adalah kehadiran teroris lone wolf yang memiliki semangat tinggi. Hal ini dipicu dari dimilikinya semacam rasa tanggung jawab untuk melajukan sesuatu atas nama keyakinan yang dimiliki.
Nasir yang juga mantan anggota Jamaah Islamiah menyebutkan, orang-orang tersebut akan sangat termotivasi dengan perintah dari tokoh panutan mereka ihwal pembuktian keimanan lewat jalan kekerasan. Ini bisa dilakukan dengan cara apapun, mulai dari meledakkan bom, menembakkan pistol, menggunakan senjata tajam, hingga melempari aparat keamanan dengan batu.
“Ini sebagai status, jika ditahan, maka status sosial mereka akan makin naik,” sebut Nasir. Selain tidak takut ditangkap, mereka juga cenderung tidak takut mati.
Pada paparan dengan judul “Media Sosial Sebagai Jalur Rekrutmen untuk Jaringan Teror,” Nasir menyebutkan bahwa kelompok-kelompok teror sangat ambisius dalam menggunakan teknologi. Ia mencontohkan, pada tahun 1998, dirinya sudah bisa mengirim layanan pesan singkat (SMS) dari Filipina ke Indonesia. Padahal saat itu, pengguna ponsel di Indonesia hanya bisa berkirim SMS di dalam negeri dengan sesama operator.
Kontrol
Lebih jauh Nasir mengatakkan bahwa jejaring kelompok teror tersebut sama dengan orang lain yang menggunakan alat telekomunikasi dan teknologi untuk hidup sehari-hari. Itulah mengapa saat perekrutan anggota teroris dilakukan di dunia nyata maka hal sama dilakukan juga di dunia maya.
“Beda format saja (tapi) aktivitas sama. Isu yang mau disampaikan sama. Malah lebih mempermudah, (karena) dengan dunia maya, tanpa bertemu pesan sampai,” kata Nasir.
Cara menggunakan dan membuat alat-alat tertentu untuk melakukan teror juga bisa diketahui tanpa mesti bertemu. Pendeknya, imbuh Nasir, teknologi komunikasi mempermudah jaringan terorisme dalam menyebarkan pengaruh dan upaya perekrutan anggota yang dilakukan.
Nasir mengatakan, dengan demikian yang saat ini penting dilakukan adalah peran tegas aparat dalam mengontrol dan menindak kelompok tersebut. Jika tidak segera dilakukan, imbuh Nasir, maka pengaruh kelompok teror akan membesar.
Menurutnya, saat jaringan terorisme aktif melakukan propaganda dan perekrutan, mengapa keaktifan yang sama juga tidak dilakukan untuk memberantasnya. Nasir menegaskan bahwa para pemberantas terorisme juga mesti berambisi dan aktif untuk melakukan upaya pemberantasan tersebut.
Untuk mencapai itu, imbuh Nasir, diperlukan penghilangan budaya “asal bapak senang” dalam membuat laporan yang terkadang tidak sesuai fakta. Pasukan yang lebih militan dalam memberantas aksi terorisme, imbuh Nasir, dibutuhkan dalam hal ini.
Lebih jauh Nasir menambahkan, apa yang dilakukan kelompok teroris di Indonesia lebih merupakan penyalinan dari apapun yang dilakukan gerakan serupa di Timur Tengah. Ia mencontohkan hal itu dengan penggunaan bom mobil, aksi bom bunuh diri, hingga dilibatkannya perempuan dan anak-anak yang sepenuhnya meniru aksi serupa yang lebih dahulu terjadi di sejumlah negara lain.
Budaya “copy paste” yang diamplifikasi perkembangan teknologi informasi telah membantu hal tersebut. Namun Nasir menegaskan bahwa ia tidak menyalahkan internet, tetapi orang-orang yang menyalahgunakan internet.
Direktur Dampak Sosial Phandeeyar Saijai Liangpunsakul secara khusus menyoroti tanggung jawab penyedia layanan teknologi media sosial Facebook terkait dampak sosial dan hak asasi manusia yang diakibatkan oleh penggunaan teknologi tersebut.
Saijai mengatakan bahwa sangat penting bagi perusahaan teknologi untuk memikirkan dampak-dampak tersebut menyusul aktivitas yang mereka lakukan. Seluruh warga negara dan elemen masyarakat sipil, imbuh Saijai, perlu bahu membahu dalam menuntut hal tersebut.
Pada bagian akhir di sesi pertama, sejumlah pembicara memaparkan kemungkinan solusi yang bisa dilakukan terkait sejumlah hal tersebut. Saijai menyebutkan dibutuhkannya pendistribusian pesan positif secara khusus serta tertarget dan literasi digital.
Pendiri laman Islami.co serta Direktur nu.or.id Savic Ali pada kesempatan itu menyampaikan diperlukannya penegakan hukum. Selain itu diperlukan pembentukan narasi tandingan, dan pengorganisasian masyarakat untuk membuat kelompok-kelompok penekan baik di dunia maya maupun nyata.
Jurnalis dan pembuat film asal Jerman Patrick Stagemann yang hadir lewat fasilitas telekonferensi menekankan perlunya literasi media. Ia juga menyoroti peran jurnalis yang mesti lebih terlibat dalam diskusi di masyarakat luas.
Relevansi Zaman
Direktur Goethe-Institut Indonesia Stefan Dreyer mengatakan konferensi denga topik transformasi digital itu merupakan yang pertama kalinya dilakukan Goethe. Ini guna merespon perkembangan zaman yang memengaruhi semua pihak di semua tempat.
Hal tersebut, imbuh Stefan, perlu dieksplorasi, didiskusikan dan dinegosiasikan. Identifikasi terhadap sejumlah perbedaan dan persamaan di beberapa negara terkait hal tersebut, akan meningkatkan kualitas perdebatan.
“(Akhirnya bisa mewujudkan) Masyarakat yang terkoneksi secara digital yang lebih transparan dan adil,” sebut Stefan dalam sambutan lisannya.
Terdapat dua hal yang menjadi fokus bahasan terkait hal itu. Pertama adalah kerusakan akibat disinformasi serta ukuran yang harus diimiliki terkait hoaks, kabar palsu, dan ekstrimisme.
Kedua, batas tipis tindakan legal yang diperlukan dan kaitannya dengan kebebasan serta sensor dalam berpendapat. Dilema dari pengaturan ini adalah, esensi internet lebih merupakan komunikasi digital tanpa batasan.
Saat praktik tersebut diatur dengan norma-norma etik, imbuh Stefan, maka sama saja dengan kembali para praktik di masa lalu dan menggantungkan hal tersebut pada pemerintah. Karena itulah, diskursus digital dengan topik tersebut memiliki sejumlah komplikasi dan memerlukan solusi yang tidak mudah dirumuskan serta diperoleh.