JAKARTA, KOMPAS – Meskipun telah menetapkan personel Kepolisian Resor Kendari, Sulawesi Tenggara, Brigadir AM, sebagai tersangka kasus tewasnya mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, Randi (22), Kepolisian Negara RI diharapkan menjalankan proses penyidikan pidana dalam kasus itu secara terbuka. Selain personel yang bertugas di lapangan, proses pidana dan kode etik juga perlu menyelidiki keterlibatan para pimpinan keenam personel yang telah diputuskan melanggar prosedur pengamanan dalam mengamankan aksi unjuk rasa, akhir September lalu.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, menjelaskan, penyebab jatuhnya korban dalam peristiwa unjuk rasa di Kendari itu berbeda. Pertama, Randi diketahui meninggal karena luka tembak. Kedua, Muhammad Yusuf Kardawi (19) tewas akibat pukulan benda tumpul. Ketiga, Putri (23) mengalami luka karena terkena peluru nyasar.
Dalam proses pidana yang tengah dilakukan Badan Reserse Kriminal Polri, tim penyidik menetapkan Brigadir AM sebagai tersangka karena melakukan tembakan yang menyebabkan Randi tewas dan Putri terluka. Sementara itu, pelaku penyebab Yusuf tewas belum terungkap.
Oleh karena itu, lanjut Poengky, masyarakat masih menanti siapa yang melakukan penganiayaan yang mengakibatkan meninggalnya Yusuf. “Apakah pelakunya anggota kepolisian atau bukan? Atas dasar itu, hasil penyelidikan kasus yang menimpa Yusuf juga perlu segera disampaikan kepada publik,” tutur Poengky, Minggu (10/11/2019).
Ia mengapresiasi langkah Bareskrim Polri yang melakukan proses peradilan umum terhadap anggota Polri yang terbukti melakukan kelalaian yang menyebabkan masyarakat sipil menjadi korban. Tetapi, proses pidana, tambahnya, belum cukup untuk mengantisipasi kejadian serupa berulang di masa mendatang.
Poengky menegaskan, seluruh pimpinan kewilayahan Polri perlu memastikan seluruh personel memahami aturan yang dimiliki Polri untuk menangani aksi penyampaian pendapat di muka umum, terutama Peraturan Kepala Polri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia. Berdasarkan aturan itu, seluruh pimpinan kepolisian harus memastikan anggotanya mematuhi aturan, misalnya tidak boleh membawa senjata api berpeluru tajam dalam mengamankan aksi unjuk rasa.
“Jika ada anggota yang melanggar, selain anggota tersebut yang diperiksa Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, maka pimpinan personel itu juga harus diperiksa karena telah lalai mengawasi anggotanya,” katanya.
Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Yati Andriyani menuturkan, sejak awal Polda Sulawesi Tenggara tidak menunjukkan akuntabilitas dan transparasi dalam mengungkap peristiwa penembakan yang menyebabkan dua mahasiswa tewas.
“Terutama, karena hasil sidang kode etik tidak menyebutkan peran dari masing-masing pelaku, sebab mereka dihukum akibat membawa senjata api dalam menangani aksi unjuk rasa,” ujar Yati.
Ia mendesak proses pidana dapat dilakukan secara transparan dan tuntas agar peristiwa tersebut dapat terungkap secara jelas. Atas dasar itu, ia meminta lembaga independen negara untuk aktif mengawasi Polri dalam menangani kasus itu.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo mengatakan, untuk proses pendalaman penyidikan kasus itu, tim penyidik Bareskrim Polri telah membawa Brigadir AM ke Jakarta. “Secepatnya penyidik Bareskrim akan menyelesaikan berkas perkara, kemudian berkas itu segera dilimpahkan ke jaksa penuntut umum,” kata Dedi.
Dedi menekankan, Polri berkomitmen untuk menuntaskan kasus itu. Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis, lanjutnya, menjadikan sejumlah perkara yang mendapat atensi publik, salah satunya peristiwa di Kendari, untuk diselesaikan di masa baktinya selama 14 bulan.