JAKARTA, KOMPAS - Pancasila didorong untuk menjadi paradigma keilmuan yang mendasari setiap kajian dan pengembangan serta pengajaran berbagai ilmu pengetahuan. Selain itu, praktik nyata nilai-nilai Pancasila yang lebih relevan dengan setiap bidang keilmuan serta implementasi di lingkar kekuasaan juga penting dilakukan.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono, Senin (18/11/2019) di Jakarta menyebutkan pentingnya menjadikan Pancasila sebagai paradigma keilmuan. Hal tersebut disampaikan dalam sambutan acara pembekalan materi pendidikan dan pelatihan pembinaan ideologi Pancasila bagi penceramah, pengajar, dan pemerhati di Jakarta.
Kegiatan dengan tema “Sejarah Pancasila, Pancasila sebagai Filsafat dan Dasar Negara” itu menghadirkan 115 orang peserta dari sejumlah daerah di Indonesia. Mereka terdiri atas dosen, peneliti, anggota TNI/Polri, dan para praktisi.
Hariyono menyatakan, selama Pancasila belum menjadi paradigma ilmu pengetahuan, maka akan banyak ironi terjadi dalam keseharian. Pasalnya, nilai-nilai Pancasila relatif sulit mewujud dalam praktik keseharian terutama di bidang politik dan ekonomi.
Ia membandingkan hal itu dengan kondisi di sejumlah negara yang telah menjadikan kapitalisme dan liberalisme sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Praktik keseharian perekonomian dan politik di sebagian negara tersebut merujuk pada nilai-nilai yang dimiliki dalam paradigma ilmu pengetahuan yang juga diajarkan itu. Pada sisi lain, nilai-nilai itu dianggap cenderung sesuai dengan konteks ruang dan waktu yang ada.
Menurut Hariyono, kondisi cenderung berbeda cenderung terjadi di Indonesia. Ia menyebutkan, di Indonesia ada dorongan kuat di satu sisi untuk menjadi Pancasilais.
Akan tetapi di sisi lain, pengajaran bidang terkait masih mengadopsi paradigma ilmu pengetahuan dari Barat. Misalnya untuk perekonomian, pengajaran yang digunakan tetap cenderung merujuk pada teori-teori yang ditulis Adam Smith dan David Ricardo.
Hariyono menambahkan, untuk sementara ini ada kecenderungan di sebagian kalangan untuk masih silau terhadap berbagai ilmu dan teori dari Barat. Pada saat bersamaan, teori yang dikembangkan oleh pemikir dan ilmuwan di dalam negeri cenderung tidak dihargai.
Tata pola kehidupan intelektual Indonesia, imbuh Hariyono, relatif belum percaya diri sebagai sebuah entitas keilmuan dengan identitas bangsa Indonesia. Kondisi ini memunculkan semacam kecenderungan jika tidak mengutip teori, asumi, dan pendapat orang asing maka belum dapat disebut hebat.
Padahal, kata Hariyono, sebuah teori hadir untuk mengatasi masalah yang berada dalam dimensi ruang dan waktu. Ia mencontohkan sejumlah penerapan teori ekonomi Barat yang akhirnya menimbulkan tingkat kesenjangan relatif tinggi di tengah masyarakat Indonesia.
“Ini (jika) dibiarkan nyaman tidak? Bagi pembangunan bagus tidak? (Keadaan ini) tidak hanya mengancam (orang) miskin tapi orang kaya juga,” kata Hariyono.
Ia menambahkan, di sisi lain Pancasila telah mengarahkan pada konsep pembangunan berkelanjutan. Khusus di bidang ekonomi, Pancasila mengarahkan agar praktik perekonomian tidak larut dalam praktik penuh keserakahan.
Pada bagian lain, Hariyono juga mengajak agar para ilmuwan juga menggunakan teori-teori yang relevan dengan Pancasila dalam kajian akademik. Ia menyatakan bahwa untuk hal itu diperlukan keberanian.
“Bukan anti asing. (Teori) Asing memperkaya. Tapi indegenisasi. Membumikan konsep Barat ke Indonesia,’ sebut Hariyono.
Operasionalkan Konsep
Salah seorang peserta acara tersebut, Agus Subagyo yang juga pengajar di Universitas Jenderal Achmad Yani menyebutkan pentingnya membumikan sejumlah konsep abstrak dalam Pancasila. Agus yang juga menulis buku Pendidikan Pancasila Untuk Mahasiwa Kedokteran menekankan pentingnya mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap bidang ilmu pengetahuan.
Agus menambahkan, hal tersebut misalnya bisa dilakukan dengan penerbitan sejumlah buku ringkas untuk berbagai disiplin ilmu. Misalnya saja Pancasila untuk mahasiswa ilmu teknik, kedokteran, dan lainnya.
Peserta lainnya, Firman Umar yang merupakan pengajar di FISIP Universitas Negeri Makassar menyebutkan bahwa yang diperlukan saat ini adalah adanya contoh praktik nilai-nilai Pancasila di pusat kekuasaan. Ia mempertanyakan, apakah dalam contohnya saat ini ada kebijakan publik yang sesuai dengan Pancasila.