logo Kompas.id
Politik & HukumJalan Terjal Pemberantasan...
Iklan

Jalan Terjal Pemberantasan Korupsi

Oleh
· 4 menit baca

Barangkali saja orang akan mengingat tulisanku ini: Akan ada permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang politik. Pramoedya Ananta ToerSejak berdiri, perjalanan Komisi Pemberantasan Korupsi tak pernah mulus. Banyak upaya merintangi KPK memberantas korupsi oleh mereka yang terganggu kepentingannya. Terkadang, besarnya dukungan publik terhadap KPK juga tak berbanding lurus dengan komitmen politik pejabat negeri ini.Pada 11 April, penyidik KPK, Novel Baswedan, disiram air keras oleh dua orang bermotor. Teror ini mengakibatkan mata kiri Novel belum bisa melihat sampai sekarang. Teror yang terjadi seusai Novel shalat Subuh di masjid dekat rumahnya hingga kini belum terungkap pelakunya. Koordinasi Polri dengan KPK sudah dilakukan. Instruksi Presiden Joko Widodo kepada Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, 31 Juli lalu, bahkan sangat jelas. Usut tuntas dan ungkap pelaku teror keji ini.Teror terhadap Novel menimbulkan berbagai spekulasi. Salah satunya terkait penanganan perkara pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). Uang haram dari kasus ini diduga mengalir ke banyak anggota DPR. Sekitar dua pekan sebelum kejadian tersebut, Novel bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terkait perkara pemberian keterangan tidak benar dengan terdakwa anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura, Miryam S Haryani. Kesaksian Novel yang ikut memeriksa Miryam saat menyidik kasus KTP-el mengungkap beberapa nama anggota Komisi III DPR yang diduga mengancam Miryam.Kesaksian ini pula yang kemudian mengakibatkan Komisi III DPR memaksa KPK untuk mau membuka rekaman pemeriksaan Miryam di hadapan penyidik. Mengacu pada aturan hukum yang ada, KPK langsung menolak permintaan tersebut yang justru berujung pada Panitia Khusus Angket terhadap KPK. Dalih politik DPR, ingin memperkuat KPK.Dalam perjalanannya, Pansus Angket seperti kehilangan arah. Berbagai persoalan yang sudah pernah dijawab KPK di tiap rapat dengar pendapat dipertanyakan kembali. Dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan, persoalan keberadaan safe house, hingga belakangan mempersoalkan Agus Rahardjo yang menjabat Ketua LKPP saat proyek KTP-el.Di sisi lain, KPK tetap berjalan menuntaskan perkara KTP-el yang dimulai sejak 2014. Bahkan, KPK menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai salah satu tersangka. Selain Novanto, dalam kasus KTP-el ada pengusaha Andi Agustinus yang tengah disidangkan, mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, yang sudah divonis bersalah, dan politisi Golkar, Markus Nari, yang juga ditetapkan tersangka.Markus pun ditetapkan tersangka untuk kasus dugaan upaya menghalang-halangi penyidikan perkara ini. Dia diduga menekan Miryam memberi keterangan tidak benar. Miryam yang mendadak mencabut seluruh keterangannya di persidangan juga tengah disidangkan.Di tengah proses penyidikan KTP-el, datang kabar dari Amerika Serikat. Johannes Marliem, pengusaha yang terlibat kasus ini dan berpotensi menjadi saksi, ditemukan meninggal di rumahnya. Otoritas setempat menduga kematiannya karena bunuh diri. Johannes adalah Presiden Direktur PT Biomorf Lone Indonesia. Dia ikut berperan dalam proses pengadaan dan perencanaan karena perusahaannya ditunjuk salah satu konsorsium pemenang tender KTP-el untuk mengerjakan sistem pemindai sidik jari KTP-el. Berbagai ancaman dan teror seperti yang terjadi dalam kasus KTP-el sebenarnya bukan hanya sekali dialami KPK. Dukungan politikDalam acara talkshow Satu Meja yang dipandu Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo, Senin (14/8), Ketua KPK Agus Rahardjo tidak menampik kemungkinan korelasi penanganan perkara KTP-el dengan penyerangan Novel, pembentukan Pansus Angket, hingga kematian Johannes.Namun, rentetan peristiwa tersebut ditegaskan tidak akan mengganggu proses penanganan perkara yang sedang berjalan. Bahkan, Agus menyatakan KPK tetap tidak akan memenuhi panggilan Pansus Angket selama uji materi terkait UU MD3 belum diputus Mahkamah Konstitusi. Keberadaan Marliem dalam pusaran perkara KTP-el pun ditegaskan Agus menjadi pelengkap dari bukti yang lain sehingga tidak banyak berpengaruh.Kendati demikian, ia menyadari upaya pemberantasan korupsi akan selalu menghadapi ganjalan. Novel, misalnya, tidak hanya sekali mengalami teror. Begitu pula dengan banyak pegawai KPK lain. "Untuk Novel, perkara KTP elektronik ini bukan hanya satu-satunya yang dia tangani. Bisa jadi akumulasi dari banyaknya perkara yang pernah ditangani," ujar Agus.Untuk itu, komitmen politik tentu sangat dibutuhkan. KPK tidak bisa berjalan sendiri dalam upaya memberantas korupsi. Tenaga KPK sendiri terbatas apabila dibandingkan dengan lembaga antikorupsi di sejumlah negara. "Saya lihat (komitmen Presiden) dalam berbagai kesempatan cukup tinggi. Tetapi, kalau dukungan politik, kami belum menemukan yang terus-menerus mendukung. Dukungannya insidental saja," kata Agus.Sering kali KPK memang seperti bekerja sendiri. Hanya dukungan publik yang menemani. Padahal, selama 72 tahun Indonesia merdeka, korupsi masih jadi persoalan akut bangsa ini. KPK, seperti kata Pramoedya, tengah menghadapi permainan politik dari orang-orang kriminal dan permainan kriminal orang-orang politik. Namun, tentu saja, demi Indonesia yang lebih baik, pemberantasan korupsi tak boleh berhenti meski harus menempuh jalan terjal dan sunyi. (RIANA A IBRAHIM)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000