Penguatan Anggaran Partai Politik Bisa Turut Tangkal Korupsi
Memang tidak ada garansi bahwa partai akan benar-benar bersih. Akan tetapi, anggaran yang memadai bisa memutus ketergantugan parpol terhadap sumber-sumber uang yang berada di luar partai.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Agenda pemberantasan korupsi ke depan dinilai harus berangkat dari penguatan bantuan untuk partai politik. Anggaran terbatas membuat partai politik menjadi tidak mandiri dan membuka ruang terjadinya praktik korupsi.
Hal itu disampaikan anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Golkar, Agun Gunandjar Sudarsa, dalam diskusi ”Arah Pemberantasan Korupsi Era Jokowi-Ma’ruf” di Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, Senin (9/12/2019). Diskusi juga dihadiri peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana; Ketua III Ikatan Alumni UI Herzaky M Putra; akademisi Junaedi Saibih; dan Pendiri Korps Mahasiswa Antikorupsi (Kosmik) UI Fadlan Rizkydivi.
Agun menjelaskan, dengan bantuan pemerintah Rp 1.000 per satu perolehan suara dalam pemilihan umum seperti aturan saat ini, parpol sudah pasti kewalahan membiayai operasionalisasi partai. Ini membuat partai tidak mandiri dalam hal pembiayaan.
Partai yang tidak mampu membiayai kegiatan sendiri, lanjutnya, membuka ruang bagi pemodal atau cukong untuk masuk sebagai sponsor dalam kegiatan politik. Selain itu, dana yang terbatas juga membuat partai sangat bergantung kepada kekuasaan.
”Ditambah pula dengan biaya politik yang tinggi. Di situ parpol rawan cukong, rawan pemodal, dan rentan intervensi penguasa. Yang terjadi kemudian adalah praktik oligarki, pragmatisme, dan transaksional,” katanya.
Kementerian Dalam Negeri pernah mengungkap, untuk mengikuti pemilihan bupati atau wali kota, seorang bakal calon bupati atau wali kota bisa menghabiskan biaya Rp 25 miliar-Rp 30 miliar. Sementara untuk pemilihan gubernur, biaya yang dikeluarkan seorang bakal calon bisa mencapai ratusan miliar rupiah hingga Rp 1 triliun.
Di sisi lain, Agun melanjutkan, tingginya biaya politik dihadapkan dengan peran parpol yang sangat dominan dalam proses demokrasi. Tidak hanya memilih eksekutif dan legislatif di semua tingkatan, parpol juga memilih calon-calon hakim Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, bahkan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi.
”Dalam kondisi yang semacam itu, apakah mungkin mengharapkan partai yang berintegritas dan bermartabat?” katanya.
Dalam draf Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, usulan kenaikan dana bantuan politik sudah dicantumkan. Kenaikan sampai Rp 6 triliun baru akan berlaku pada 2023. Apabila dibagi secara proporsional, sembilan partai di DPR mendapat Rp 48.000 per perolehan suara saat pemilu. Angka ini naik signifikan jika dibandingkan dengan bantuan yang diterima saat ini, yaitu Rp 1.000 per suara (Kompas, 12/11/2019).
Tidak ada garansi
Menurut politisi senior Partai Golkar ini, setelah anggaran untuk parpol dinaikkan, memang tidak ada garansi bahwa partai akan benar-benar bersih. Akan tetapi, anggaran yang memadai bisa memutus ketergantugan parpol terhadap sumber-sumber uang yang berada di luar partai.
Proses audit berlapis bisa diterapkan untuk memastikan bahwa anggaran yang besar benar-benar digunakan untuk kepentingan partai. Selain itu, partai juga bisa dipaksa untuk menjalankan kepemimpinan yang kolektif.
”Kepemimpinan kolektif itu untuk memutus kecenderungan oligarki di tubuh partai. Dengan demikian, ruang untuk kongkalikong dalam keputusan politik bisa diantisipasi,” ucapnya.
Junaedi Saibih menjelaskan, parpol yang tidak mandiri secara keuangan membuatnya dikuasai segelintir kelompok. Ia menyaksikan perubahan parpol yang bertransformasi menjadi partai keluarga sendiri.
Menurut dia, berbagai kajian politik memang menunjukkan bahwa anggaran memadai berkorelasi dengan integritas partai. Akan tetapi, untuk konteks Indonesia, regulasi kenaikan anggaran bantuan partai harus ketat.
”Harus ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, misalnya terkait transparansi anggaran serta pelaporan keuangan yang tertib dari partai sebelum anggarannya dinaikkan,” lanjutnya.
Komitmen lemah
Kurnia Ramadhana menambahkan, penanganan korupsi selalu bersinggungan dengan lingkar elite kekuasaan dan sikap koruptif dari penegak hukum. Di sisi lain, komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi masih lemah.
Hal itu, katanya, ditandai dengan revisi terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Baru dalam hitungan bulan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi diberlakukan, sudah ada beberapa pihak yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
”Ini membuktikan bahwa UU KPK baru bermasalah dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi,” ucap Kurnia.
Dengan diubahnya UU KPK, tambah Herzaky M Putra, pemerintah harus membuktikan masih berkomitmen dalam pemberantasan korupsi. ”Tunjukkan ke publik bahwa pemerintah memang serius memberantas korupsi,” ujarnya.
Fadlan Rizkydivi menilai, hal yang tak kalah penting adalah mengingatkan kepada publik bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Jangan sampai tindak pidana korupsi dianggap sesuatu yang wajar dan publik menjadi permisif.
”Sebab, pemberantasan korupsi berkaitan dengan upaya untuk menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia,” kata Fadlan.