Perang adalah jalan terakhir dari konflik. Karena perang itu menghilangkan manusia dan kemanusiaan, tetapi juga merusak alam. Padahal, hidup manusia bisa diisi dengan hal-hal sederhana yang membahagiakan.
Oleh
Edna C Pattisina
·5 menit baca
Perang, apapun, juga merupakan jalan terakhir dari penyelesaian konflik. Artinya, perang dipilih setelah tak ada jalan keluar yang menjadi jalan keluar dari sebuah perbedaan. Alasannya, perang itu merusak, tak hanya menghilangkan manusia dan kemanusiaan, yang membuat mayat-mayat bergelimpangan, tetapi juga merusak alam dengan kubangan-kubangan bekas bom. Belum lagi dampak psikologis dan lainnya. Padahal, seyogyanya, hidup manusia diisi oleh hal-hal sederhana yang membahagiakan.
Film "1917" adalah sebuah film personal dari Sam Mendes, sutradara yang sebelumnya menangani dua seri James Bond, "Spectre" (2015) dan "Skyfall" (2012). Terinspirasi dari cerita kakeknya yang menjadi pembawa pesan pada Perang Dunia I pada usia 17 tahun, Sam Mendes menyampaikan semangat anti perangnya, bahwa yang kita inginkan adalah rumah.
Cerita film ini sederhana, dengan konteks sejarah yang kuat. Dua orang kopral muda, Blake (Dean Charles Chapman) dan Schofield (George MacKay) diperintahkan untuk menyampaikan surat perintah jenderal ke pasukan lain untuk membatalkan serangan esok pagi. Kalau sampai gagal, nyawa 1600 pasukan Inggris dan Prancis, salah satunya abang Blake, ada di ujung tanduk karena masuk jebakan Jerman. “Kalau kalian gagal, akan terjadi pembantaian,” kata sang Jenderal usai menitipkan surat.
Masalahnya, kedua kopral itu harus berjalan kaki sekitar sembilan jam, melewati berbagai rintangan, terutama garis pertahanan Jerman. Maka cerita linear pun terjalin dari sudut pandang kedua orang itu. Dengan sinematografi yang menggunakan single shot – kamera pengambilan gambar dengan satu sudut pandang terus menerus – penonton dibawa melihat perang dari sudut pandang dua orang muda ini.
"Dengan sinematografi yang menggunakan single shot – kamera pengambilan gambar dengan satu sudut pandang terus menerus – penonton dibawa melihat perang dari sudut pandang dua orang muda ini"
Oleh karena itu, sebelum mengelaborasi pesan anti perang "1917", perlu diketahui konteks Perang Dunia (PD) I yang terjadi 28 Juli 1912 sampai 11 November 1918. Walaupun berpusat di Eropa, perang terjadi di skala global di berbagai koloni antara Blok Sekutu yaitu Prancis, Kerajaan Inggris, Rusia, Amerika Serikat (AS), melawan Blok Sentral yaitu Jerman, Ottoman, Hongaria-Austria.
Perang Global Modern
PD I bisa dikategorikan sebagai perang modern pertama, lepas dari sekedar mengandalkan manusia dan hewan. Penggunaan teknologi terlihat dari mulai digunakannya tank - sebagai pengganti kuda - dan pesawat tempur. Penggunaan pesawat awalnya hanya untuk pengamatan udara, namun sejak pertengahan PD I mulai digunakan untuk membom dan menembak. Sejarawan perang James Corum mencatat bahwa masa-masa PD I menjadi masa perkembangan teknologi tercepat dalam sejarah.
Kemajuan teknologi ini tidak serta merta diserap oleh para perwira dan prajurit. Ada jeda waktu antara kebutuhan di lapangan yang memicu penemuan teknologi, dan cara berperang. Para perwira yang membuat taktik masih gamang dalam menggunakan teknologi. Padahal, perkembangan artileri (yang sebelumnya telah digunakan jaman perang Napolen) dan senapan meningkatkan kemampuan menembak secara drastis.
Sayangnya, daya tembak yaitu bertambahnya jarak jangkauan, akurasi, jumlah tembakan, serta daya mematikan senjata tidak diimbangi dengan mobilitas senjata. Akibatnya ada kesenjangan antara doktrin perang yang memajukan pasukan berhadap-hadapan dengan kemampuan alat.
Banyaknya prajurit yang diturunkan, medan perang yang terbuka, membuat ruang untuk manuver jadi berkurang. Apalagi dengan mobilitas alat yang rendah, sementara daya tembak dari musuh sangat tinggi. PD I kemudian jadi perang linier dalam arti mempertahankan tanah yang telah diduduki dengan segala cara. Bulan September 1941, tentara Jerman yang terdesak oleh pasukan sekutu lalu menggali lubang-lubang perlindungan dari serangan-serangan tembakan yang masif. Lubang perlindungan ini lalu berkembang menjadi parit-parit yang menjadi garis depan pertahanan.
Pihak sekutu lalu menirunya, sehingga terjadilah dua parit yang merentang panjang, dengan daerah tak bertuan di antaranya. Dengan taktik perang infanteri yang maju saling berhadapan tidak bisa dipakai lagi, akhirnya yang terjadi adalah perang yang bersifat statis di parit dengan posisi seimbang yang lama dan membuat frustasi karena teori-teori serangan infanteri dengan bayonet tidak bisa dipakai lagi.
"Film ini dibuka dengan dua anak muda dengan seragam tentara Inggris sedang tidur-tiduran di bawah pohon. Suasana tenang dan damai direpresentasikan dengan padang rumput hijau berbunga-bunga kuning kecil, langit cerah, dan angin sepoi-sepoi yang membuat keduanya terkantuk-kantuk"
Anti Perang
Film ini dibuka dengan dua anak muda dengan seragam tentara Inggris sedang tidur-tiduran di bawah pohon. Suasana tenang dan damai direpresentasikan dengan padang rumput hijau berbunga-bunga kuning kecil, langit cerah, dan angin sepoi-sepoi yang membuat keduanya terkantuk-kantuk.
Perintah menunggu keduanya. Penonton dibawa berjalan mengikuti langkah mereka masuk ke parit-parit pertahanan. Hilanglah warna warni alam diganti dengan warna parit yang coklat dengan lumpur, seragam, serta senjata sementara alam terbuka berganti jadi parit-parit sempit setinggi kepala orang dewasa. Blake dengan antusias bertanya pada Schofield tentang medali keberaniannya hasil Pertempuran Somme. Dengan ogah-ogahan Schofield menjawab kalau medali itu sudah dia buang.
Toh Blake tidak bisa menolak perintah. Apalagi, nyawa kakaknya jadi taruhan. Toh Jenderal Erinmore yang diperankan sekilas oleh Colin Firth meyakinkan kalau Jerman sudah mundur. Sekian ratus meter kemudian, kata-kata Jenderal Erinmore dibantah prajurit yang ada di garis depan. Mana mungkin, setelah berminggu-minggu mati-matian berjuang mempertahankan garis depan, tentara Jerman mundur dalam waktu semalam.
"Penonton ditunjukkan betapa perang menghilangkan manusia dan kemanusiaan. Mayat-mayat bergelimpangan, alam rusak dengan kubangan-kubangan bekas bom"
Blake dan Schofield berpandang-pandangan. Tapi mereka tidak punya pilihan lain. Di bawah cahaya matahari, mereka pun melewati batas kawat duri terakhir pertahanan sekutu. Penonton ditunjukkan betapa perang menghilangkan manusia dan kemanusiaan. Mayat-mayat bergelimpangan, alam rusak dengan kubangan-kubangan bekas bom.
Padahal, hidup manusia sebenarnya diisi oleh hal-hal sederhana namun membahagiakan. Seperti Blake yang bisa panjang lebar bercerita tentang pohon-pohon ceri di halaman belakang rumahnya, serta kebiasaanya dengan abang dan ibunya memanen ceri itu. Bagaikan ahli, ia bercerita tentang jenis-jenis pohon ceri yang menurut orang lain cuma satu macam. Sayang, beberapa menit kemudian ia tewas oleh pilot Jerman yang tadinya coba diselamatkannya.
Pesan anti perang Mendes diwujudkan dalam berbagai dialog yang mengundang ironi. Sekali ia mengejek lewat Schofield yang ternyata menjual medali keberaniannya demi sebotol anggur. “Aku haus, mo bagaimana ?” tanya Schofield.
Terakhir, walau misi Schofield berhasil, kata-kata Kolonel MacKenzie yang diperankan Benedict Cumberbatch menunjukkan ironi yang lain. MacKenzie adalah komandan pasukan di garis depan yang misi serangannya harus dicegah Blake dan Schofield. “Selamat, misimu berhasil. Tapi hal-hal seperti ini tidak tahan lama, entah besok atau minggu depan, jenderal-jenderal itu akan kembali mengganti perintahnya,” kata MacKenzie.
Film ditutup dengan pemandangan yang sama. Schofield duduk di padang rumput dengan bunga-bunga kuning kecil dipayungi langit biru. Kali ini dia membuka foto istri dan anak perempuannya. Setelah mempertaruhkan nyawa, peristiwa terpenting dalam perjalannya ternyata perjumpaan dengan seorang bayi tak bernama. Ia pun menjadi ingat dengan rumahnya.