Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyamakan kelembagaan pengawas pemilu di tingkat kabupaten dan kota dalam Undang-undang Pilkada dengan UU Pemilu menguatkan legitimasi Badan Pengawasan di Daerah.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyamakan ketentuan kelembagaan pengawas pemilu di tingkat kabupaten dan kota yang diatur di dalam Undang-undang Pilkada dengan UU Pemilu menguatkan legitimasi Badan Pengawasan Pemilu di daerah. Putusan itu lebih jauh juga menegaskan persamaan lembaga yang mengurus pilkada dan pemilu. Dengan demikian, ada potensi untuk tidak mempertentangkan perbedaan antara rezim pilkada dan pemilu.
Dalam putusan yang dibacakan, Rabu (29/1/2020), MK menyatakan ketentuan soal pengawas pilkada di dalam UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada harus mengikuti ketentuan mengenai kelembagaan yang sama dalam UU No 7/2017 tentang Pemilu. Dalam UU Pilkada, pengawas pilkada di kabupaten/kota disebut dengan Panwaslu Kabupaten/Kota. Adapun di UU Pemilu, pengawas kabupaten/kota dinamai dengan Bawaslu Kabupaten/Kota.
Putusan itu merupakan hasil dari uji materi yang diajukan oleh Surya Efritimen (Ketua Bawaslu Sumatera Barat), Nursari (Ketua Bawaslu Kota Makassar), Sulung Muna Rimbawan (anggota Bawaslu Kabupaten Ponorogo). Mereka menguji 45 pasal di dalam UU No 10/2016 tentang Pilkada yang menyebut kelembagaan “Panwaslu Kabupaten/Kota.”
"Putusan itu merupakan hasil dari uji materi yang diajukan oleh Surya Efritimen (Ketua Bawaslu Sumatera Barat), Nursari (Ketua Bawaslu Kota Makassar), Sulung Muna Rimbawan (anggota Bawaslu Kabupaten Ponorogo). Mereka menguji 45 pasal di dalam UU No 10/2016 tentang Pilkada yang menyebut kelembagaan \'Panwaslu Kabupaten/Kota\'"
Kuasa hukum pemohon, Veri Junaidi, Kamis di Jakarta mengatakan, putusan MK yang menyatakan pengaturan penyelenggara pilkada merujuk pada UU Pemilu dapat menjadi pintu masuk untuk melihat pengaturan pemilu di Tanah Air secara lebih luas. Sebab, saat ini pengaturan pilkada dan pemilu dipisah.
“Putusan ini semoga bisa menjadi pertimbangan bagi MK dalam melihat perkara-perkara lain yang terkait dengan pemilu. Makna lainnya, kini menjadi tidak relevan lagi mempertentangan rezim pilkada dan rezim pemilu, karena penyelengaranya sama, dan asas-asas penyelenggaraannya juga sama,” katanya.
Perbedaan UU
Sebelumnya, dalam perkara yang diputus MK, pemohon menyoal adanya perbedaan di dalam UU Pilkada dan UU Pemilu. Hal ini dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum, karena ada anggapan struktur Bawaslu di daerah menjadi tidak memiliki legitimasi mengawasi pilkada, karena lembaga Bawaslu Kabupaten/Kota tdiak disebutkan di dalam UU Pilkada, melainkan Panwaslu Kabupaten/Kota.
Selain itu, panwaslu di dalam UU Pilkada juga bersifat ad hoc yang dibentuk dua bulan sebelum tahapan pilkada. Panwaslu dibentuk oleh Bawaslu Provinsi. Hal ini berbeda dengan aturan di dalam UU Pemilu yang menyebutkan Bawaslu, baik tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota bersifat tetap atau permanen, dan masa keanggotaannya 5 tahun.
Tidak hanya itu, kedua UU juga mengatur komposisi anggota lembaga pengawas yang berbeda. UU Pilkada menyebutkan jumlah anggota Panwaslu di kabupaten/kota sebanyak 3 orang, sedangkan di UU Pemilu jumlah anggota Bawaslu di kabupaten/kota 3-5 orang, dan Bawaslu di provinsi bisa sampai 7 orang. Kondisi ini membuat anggota Bawaslu di daerah tidak nyaman, karena pembatasan 3 orang membuat posisi mereka yang umumnya berjumlah 3 orang menjadi tidak pasti.
Hakim konstitusi Wahiduddin Adam dalam pertimbangannya mengatakan, sekalipun telah diganti dengan UU No 7/2017 tentang Pemilu, rupanya masih belum terjadi keseragaman kelembagaan. Dengan berlakunya UU No 7/2017, UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
“Hal yang diatur di dalam ketentuan penutup itu tidak hanya menegaskan ikhwal substansi status UU yang diadopsi di dalam UU Pemilu, tetapi juga menunjukkan peralihan atau pergantian UU yang menjadi rujukan pengaturan kelembagaan lembaga penyelenggara pemilu. Maka, segala peraturan perundang-undangan yang merujuk pada UU No 15/2011 seharusnya menyesuaikan dengan penggantian yang terjadi,” kata Wahiduddin.
Lebih jauh, MK mengatakan, ketidaksamaan pengaturan antara UU Pilkada dan UU Pemilu menimbulkan ketidakpastian hukum. Untuk mencegah itu, hakim konstitusi Saldi Isra mengatakan, nomenklatur lembaga, komposisi, dan fungsi kelembagaan pengawas pilkada mesti disesuaikan dengan UU Pemilu. “Kalau tidak disamakan, hal ini akan berdampak pada ketidakpastian hukum, termasuk dalam kerja pengawasan pemilihan kepala daerah,” katanya.
Beri kepastian
Anggota Bawaslu RI Fritz Edward Siregar mengatakan, putusan MK itu memberikan kepastian hukum kepada para anggota Bawaslu Kabupaten/Kota yang saat ini menghadapi penyelenggaraan Pilkada 2020. “Kini, anggota Bawaslu Kabupaten/Kota tidak lagi ragu dengan nomenklatur kelembagaan mereka, fungsi, maupun komposisi keanggotaan mereka, karena telah disamakan dengan aturan di dalam UU Pemilu,” katanya.
Pada praktiknya, putusan MK ini memang tidak akan banyak mengubah komposisi keanggotaan Bawaslu Kabupaten /Kota, karena jumlah mereka relatif tetap antara 3 orang, 5 orang, dan maksimal 7 orang.
"Dengan putusan itu, MK menegaskan pengawas pilkada dan pemilu adalah lembaga yang sama, yakni Bawaslu. Dengan demikian, tidak ada lagi penafsiran ada lembaga tersendiri untuk mengawasi pilkada yang bernama Panwaslu, karena pada dasarnya lembaga itu adalah Bawaslu dan memiliki fungsi serupa"
Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Mellaz mengatakan, putusan itu mengakhiri kesimpangsiuran informasi soal lembaga pengawas pilkada. Dengan putusan itu, MK menegaskan pengawas pilkada dan pemilu adalah lembaga yang sama, yakni Bawaslu. Dengan demikian, tidak ada lagi penafsiran ada lembaga tersendiri untuk mengawasi pilkada yang bernama Panwaslu, karena pada dasarnya lembaga itu adalah Bawaslu dan memiliki fungsi serupa.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, sekalipun MK telah menegaskan kesamaan kelembagaan pengawas pemilu dan pilkada, tetapi kewenangan Bawaslu yang diatur di dalam UU Pilkada dan UU Pemilu berbeda. Sebagai contohnya, Bawaslu memiliki kewenangan memutuskan sengketa administratif, serta sifat putusannya final dan mengikat dalam UU Pemilu. Namun, di dalam UU Pilkada, sifat keputusan Bawaslu hanya rekomendasi.
“Perbedaan pengaturan ini merupakan konsekuensi dari berseraknya pengaturan pemilu dan pilkada. Idealnya ada harmonisasi tata kelola tahapan, nomenklatur kelembagaan, dan mekanisme penegakan hukum, sehingga tidak terjadi perbedaan,” katanya.