Kepastian Hukum Prasyarat Keberhasilan Program Prioritas
Fondasi demokrasi dan penegakan hukum harus benar-benar dibangun dan dipelihara untuk berjalannya lima program pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Oleh
Rini Kustiasih/Agnes Theodora/Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Demokrasi dan penegakan hukum menjadi syarat mutlak bagi tercapainya lima prioritas pembangunan yang diprogramkan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Oleh karena itu, sejak awal, fondasi demokrasi dan penegakan hukum harus benar-benar dibangun dan dipelihara demi berjalannya lima program tersebut.
Lima program prioritas tersebut ialah pembangunan sumber daya manusia (SDM), pembangunan infrastruktur, deregulasi melalui omnibus law, debirokrasi, dan transformasi ekonomi.
Jajak pendapat Kompas pada 29-30 Januari 2020 menunjukkan, mayoritas responden meyakini lima program itu akan tercapai. Omnibus law merupakan program dengan tingkat keyakinan responden terendah dibandingkan dengan empat program lain, yakni 55,3 persen. Sementara tingkat keyakinan pada transformasi ekonomi mencapai 81,6 persen.
Lima program itu akan menjadi sia-sia bilamana tidak ada kepercayaan terhadap pemerintah.
Kepala Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Agus Heruanto, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (6/2/2020), mengatakan, kondisi politik yang baik, dengan kehidupan demokrasi yang terjamin, akan menjadi landasan yang baik bagi berjalannya program pemerintah. Meski keterkaitan demokrasi dan kemajuan ekonomi bisa diperdebatkan, politik yang stabil dalam iklim demokratis bisa menjadi salah satu daya tarik investasi dan landasan tumbuhnya ekonomi.
Penegakan hukum, lanjut Agus, menjadi prasyarat berikutnya bagi tercapainya lima program prioritas pemerintah. Tanpa kepastian hukum, ketidakpercayaan akan merebak di masyarakat. Hal ini karena penegakan hukum amat berkaitan dengan kepercayaan dan nilai-nilai. ”Lima program itu akan menjadi sia-sia bilamana tidak ada kepercayaan terhadap pemerintah,” katanya.
Menyimpan masalah
Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Firman Noor, mengingatkan, pembangunan yang terus digenjot demi pertumbuhan ekonomi yang baik, tetapi tidak diiringi iklim demokrasi yang baik dan penegakan hukum yang kuat akan menyimpan banyak persoalan.
Menurut Firman, dinamika demokrasi yang cenderung melemah, kebebasan sipil di bawah tekanan, serta aspek penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang relatif melemah saat ini menjadi lampu kuning atas target pembangunan pemerintah.
Indeks demokrasi Indonesia, menurut The Economist Intelligence Unit (EIU) 2019, sedikit membaik, yakni dari 6,39 pada 2018 menjadi 6,48. Dari skala 0-10, semakin besar skor, semakin baik indikatornya. Namun, indikator kebebasan sipil (5,59) menjadi yang terendah dari lima indikator pembentuk indeks demokrasi untuk Indonesia (Kompas, 23/1).
”Orde Baru bisa menjadi contoh yang menunjukkan betapa pertumbuhan ekonomi menjadi panglima, tetapi stabilitas politik cenderung dipaksakan sehingga penuh tekanan dan pada satu titik memunculkan ketidakpuasan politik yang berkembang menjadi instabilitas politik,” ujar Firman.
Pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, untuk terbangun fondasi hukum yang baik dalam mendukung pencapaian lima program pemerintah, hukum sebaiknya tidak hanya dilihat sebagai instrumen pertumbuhan ekonomi. Substansi hukum lain, seperti keadilan dan pemberian jaminan hak-hak warga negara, termasuk hak asasi manusia, juga harus dilindungi.
”Kalau diasumsikan hukum hanya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, hal itu tidak akan bertahan dalam jangka waktu lama dan menjadi bom waktu bagi munculnya persoalan baru di masa depan,” kata Bivitri.
Eksekusi amat penting
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati menuturkan, saat ini yang diperlukan untuk mencapai lima program prioritas pemerintah ialah eksekusi atau pelaksanaan secara sistematis program-program yang sudah disusun. ”Kalau hanya akan, akan, dan akan, tidak akan segera terealisasi program-programnya. Yang diperlukan, bagaimana eksekusinya,” ucapnya.
Dalam program SDM, misalnya, menurut Enny, belum terlihat skema program jangka pendek, menengah, dan panjang untuk mereformasi sistem pendidikan nasional. Idealnya, jangka pendek dilakukan dengan intervensi pemerintah untuk mendorong dan meningkatkan berbagai macam pelatihan melalui lembaga pembinaan sektoral ataupun daerah.
Di bidang infrastruktur, menurut Enny, yang harus ditingkatkan ialah akselerasi pembangunan infrastruktur yang mendukung pertumbuhan ekonomi, antara lain mengurangi biaya logistik dan menghubungkan pusat-pusat ekonomi. Tujuan pembangunan infrastruktur itu harus jelas, yakni memperbaiki efisiensi ekonomi dan meningkatkan distribusi barang.
Kalau hanya akan, akan, dan akan, tidak akan segera terealisasi program-programnya. Yang diperlukan, bagaimana eksekusinya.
Terkait debirokrasi, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng mengingatkan, pemerintah perlu menyusun peta kompetensi. Hal ini penting agar dapat menyalurkan aparatur sipil negara sehingga didapatkan sumber daya yang mampu berdaya saing dengan birokrasi kelas dunia.
Pasalnya, debirokrasi akan dilakukan lewat pemangkasan birokrasi dengan cara penyederhanaan eselon dari lima menjadi dua. Selanjutnya, jabatan struktural yang dipangkas diganti jabatan fungsional berbasis keahlian dan kompetensi.