Bahtiar Effendy dan Pemikiran Jalan Tengah Politik Islam
Bahtiar Effendy, Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dikenang sebagai sosok yang mampu mengintegrasikan pemikiran demokrasi dengan Islam. Pemikiran jalan tengah itu perlu terus diperjuangkan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hubungan antara nilai keislaman dan kenegaraan atau disebut dengan politik islam sejatinya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam proses demokrasi Indonesia. Oleh karena itu, pengotakan terhadap kedua nilai tersebut malah hanya akan menimbulkan perdebatan yang tak solutif.
Demikian antara lain kegelisahan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Bahtiar Effendy, yang berpulang pada 21 November 2019. Almarhum Bahtiar Effendy semasa hidup juga aktif menjadi pengurus Persyarikatan Muhammadiyah.
Kegelisahan Bahtiar itu diungkapkan kembali oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, dalam peluncuran buku Mengenang Sang Guru Politik Bahtiar Effendy di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah di Jakarta, Senin (10/2/2020).
Peluncuran buku tersebut juga dihadiri Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Ketua DPP PDI-P Djarot Saiful Hidayat, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, dan Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Syaiful Bakhri.
Haedar mengatakan, pada periode sekitar 1955, perdebatan nilai keislaman dan kenegaraan muncul di Sidang Konstituante, yang saat itu ditugaskan menyusun undang-undang dasar. Akibatnya, pembelahan terjadi antara kelompok agama dan nasionalis.
Fenomena ini, menurut Haedar, harus menjadi pembelajaran dalam proses politik Indonesia saat ini. Pemikiran Bahtiar, yang mengonvergensikan antara Islam dan Indonesia harus menjadi jalan baru politik Islam Indonesia.
”Sayangnya, ketika reformasi, proses politik menjadi sangat liberal dan politik Islam kembali ke masa lampau. Kembali ke masa lampau, ke zaman yang sifatnya absolut dan konfrontatif sehingga tak menemukan apa yang disebut jalan tengah dan konvergensi antara politik Islam dan negara,” ujar Haedar.
Pada prinsipnya, lanjut Haedar, Muhammadiyah juga telah membuka fondasi untuk titik temu itu lewat Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah. Dalam konsep tersebut, Pancasila disepakati sebagai dasar negara yang sesuai dengan nilai keislaman.
”Itu titik masuk yang kontekstual dan aktual. Tidak lagi berpikir tentang negara agama ataupun negara sekuler,” kata Haedar.
Ketakutan yang tak perlu
Din Syamsuddin menambahkan, semasa hidup, Bahtiar tak pernah luput dalam membaca realitas keumatan dengan pendekatan ilmu sosial. Tak heran, gagasan kebangsaan yang disampaikan almarhum sangat obyektif.
”Islam yang Pancasila itu sudah selesai. Pikiran dia (Bahtiar) yang patut dijaga dan seyogianya adalah Islam yang inklusif dan bekerja sama dengan kelompok-kelompok lain,” ucap Din.
Oleh karena itu, kata Din, di masa sekarang, tak relevan lagi ada ketakutan kebangkitan Islam untuk mengubah Pancasila. Ketakutan semacam itu, menurut Din, hanya akan menimbulkan ketidakseimbangan nasional.
”Jangan dipengaruhi pikiran-pikiran itu. Ini yang kemudian berbahaya bagi bangsa Indonesia. Mari bersama-sama membangun kerukunan dan kebinekaan sejati bersama umat agama lain,” ucap Din.
Djarot Saiful Hidayat sependapat bahwa Bahtiar telah mampu mempertemukan antara jalan nasionalis dan religius. Gagasan jalan tengah atau politik Islam itulah yang perlu diperjuangkan di masa sekarang dalam upaya menjaga keutuhan negara.
”Pemikiran-pemikiran politik Islam yang memanusiakan manusia itu wajib diperjuangkan untuk menjaga harmonisasi bangsa,” kata Djarot.
Sementara itu, Anies Baswedan mengagumi sosok Bahtiar yang berhasil mengintegrasikan pemikiran demokrasi dengan Islam. Menurut Anies, tak banyak intelektual Indonesia yang mampu mengartikulasikan politik Islam, bahkan menjadi radar percakapan global.
”Beliau (Bahtiar) melihat bagaimana institusi demokrasi turut berkembang, partai politik turut berkembang, dan bagaimana itu bisa diintegrasikan dengan aspirasi umat Islam,” kata Anies.