Pemerintah akan membagi peran antara pusat dan daerah melalui RUU Cipta Kerja. Hal tersebut termasuk dalam kewenangan perizinan lingkungan dan analisis mengenai dampak lingkungan.
JAKARTA, KOMPAS— Pemerintah akan merumuskan standar izin lingkungan dan analisis mengenai dampak lingkungan. Dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja akan diatur penyeragaman norma, prosedur, dan kriteria izin lingkungan serta amdal tersebut.
”Izin lingkungan dan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) tidak ditarik ke pemerintah pusat. Pusat justru akan membuat standar baku agar prosesnya tidak berulang-ulang,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Jakarta, Jumat (21/2/2020).
Nantinya, pengajuan amdal bagi usaha dengan risiko rendah cukup dengan menyatakan persetujuan akan memenuhi persyaratan. Jadi, pelaku usaha tak perlu mengajukan amdal berulang-ulang jika kawasan industrinya memiliki amdal dan jenis industri yang dibangun sesuai peruntukan.
Usaha wajib amdal yang semula diatur dengan sembilan kriteria pada Pasal 23 UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dijadikan satu kriteria di RUU Cipta Kerja. Adapun izin lingkungan dihilangkan dan diganti perizinan berusaha. Hal ini tertera dalam Pasal 23 angka 4 RUU Cipta Kerja.
Airlangga mengakui, aturan baru terkait isu lingkungan selalu sensitif. Karena itu, pemerintah akan merumuskan secara hati-hati dan sesuai undang-undang, misalnya untuk pabrik baja, limbah tekstil, dan kelapa sawit. Rumusan standar baku izin lingkungan dan amdal diperlukan untuk menciptakan kepastian. ”Masalahnya, standar antarindustri tak harmonis. Standar harus dibakukan dan diperjelas,” katanya.
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono menjelaskan, pemberian izin amdal ke depan harus lebih selektif. Izin diberikan berdasarkan berbagai pertimbangan, terutama risiko. Izin amdal hanya diwajibkan bagi usaha berisiko tinggi, seperti industri dengan bahan baku berbahaya. Bagi industri dengan risiko lingkungan rendah, izin amdal dikhawatirkan memperberat.
”Pengusaha yang sektornya tak berbahaya, tetapi diwajibkan membuat amdal yang harganya ratusan juta rupiah. Parahnya, tak ada pemantauan. Dari fakta itu, lebih penting monitoring, evaluasi dari waktu ke waktu,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono, dalam siaran pers, kemarin, menyatakan, RUU Cipta Kerja merupakan penyederhanaan regulasi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Hal itu sekaligus memberikan kepastian penegakan hukum lingkungan pada koridor tepat.
”Dunia usaha bukan berarti swasta besar. Rakyat yang menerima hutan sosial juga bagian dari itu. Penegakan hukum lingkungan jelas dan terang, tidak dihapus. Jadi, tidak benar jika dikatakan RUU ini mengabaikan prinsip lingkungan dan pro pebisnis besar saja. Justru sebaliknya, RUU ini sangat berpihak pada kesejahteraan rakyat kecil,” ujar Bambang.
”Melalui RUU ini, program perhutanan sosial dan TORA (Tanah Obyek Reforma Agraria) akan berlari kencang. UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) yang berkegiatan di sekitar hutan akan hidup tanpa mengabaikan prinsip perlindungan hutan karena sanksi hukum bagi perusak lingkungan tetap ada,” kata Bambang.
KLHK punya kepentingan pada pembahasan RUU ini, terutama untuk pasal-pasal yang berkaitan dengan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Bertentangan
Guru Besar Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo menilai, sejumlah pasal di RUU Cipta Kerja meminggirkan pelestarian lingkungan hidup dan bisa memicu ketimpangan pengelolaan sumber daya alam. ”Yang akan jadi aturan ialah pasal-pasal itu. Kalau ada beda antara maksud pemerintah dan yang tertulis berarti ada yang salah di sini,” katanya.
Hariadi dan tim peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menemukan sejumlah pasal dalam RUU Cipta Kerja yang berpotensi meminggirkan lingkungan hidup dan berpotensi memperlebar ketidakadilan pemanfaatan hasil hutan. Contohnya, Pasal 27 dan Pasal 29 dalam UU Kehutanan yang mengatur hak perorangan dan koperasi mendapat izin usaha pemanfaatan kawasan dan izin pemungutan hasil hutan justru dicabut dalam RUU Cipta Kerja.
Dalam RUU ini, perizinan berusaha hanya untuk badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik desa (BUMD), dan badan usaha milik swasta (BUMS). Menurut Hariadi, hal itu bakal menutup akses bagi warga lokal dan adat untuk mengakses hutan.
”Isi RUU Cipta Kerja bukan hanya tak bertujuan mempercepat perizinan bagi masyarakat lokal dan adat yang kini dilayani dalam bentuk perhutanan sosial, tetapi juga menutup semua perizinan perhutanan sosial,” katanya.
Peneliti Sajogyo Institute, Eko Cahyono, menilai, RUU Cipta Kerja mengabaikan soal ketimpangan dan krisis sosial ekologi berdimensi struktural.
Menurut Eko, RUU itu berpotensi memperlebar ketimpangan sosial ekonomi. Contohnya, larangan pembakaran hutan oleh masyarakat adat untuk kepentingan pertanian tradisional. Ada bias kepentingan pengusaha, termasuk membatasi akses masyarakat lokal dan masyarakat adat terhadap hutannya, dengan hanya mengakui perizinan berusaha bagi BUMN, BUMD, dan BUMS.
Sosialisasi
Untuk mengakhiri polemik terkait RUU Cipta Kerja, Dini mengungkapkan, Presiden Joko Widodo sudah meminta kementerian terkait untuk melaksanakan sosialisasi RUU tersebut kepada masyarakat. Kementerian Koordinator Perekonomian menyiapkan rencana berkeliling daerah untuk sosialisasi RUU itu.
”Kemarin sudah dirapatkan Presiden, dan Pak Menko (Menko Perekonomian Airlangga Hartarto) serta lembaga terkait akan roadshow ke beberapa kota di Indonesia,” ujarnya.
Tim Kemenko Perekonomian akan menjelaskan secara rinci kepada pemerintah daerah mengenai maksud dan tujuan sekaligus rumusan pasal-pasal dalam RUU itu. Selanjutnya pemda bertugas menyosialisasikan rumusan regulasi tersebut kepada masyarakat.
Pemerintah juga akan mengajak berbagai kelompok masyarakat sipil dan akademisi untuk mendiskusikan pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja. Hal terpenting yang harus dipahami masyarakat adalah RUU Cipta Kerja dibuat untuk mendorong terciptanya lapangan kerja.
(KRN/AIK/NTA/TAN)