MA Dinilai Kurang Tegas Mencegah Penularan Covid-19
Elsam dalam pantauannya menemukan, protokol korona belum dilaksanakan sepenuhnya di lingkungan badan peradilan. MA dinilai kurang tegas dalam upaya mencegah penyebaran virus korona di lingkungan badan peradilan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Surat Edaran Sekretaris Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 dinilai tidak menggambarkan ketegasan sikap dan upaya maksimal badan peradilan tertinggi di Indonesia itu untuk mencegah penyebaran corona virus diseases (Covid-19). Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mendesak Mahkamah Agung agar lebih sensitif dan mengedepankan aspek kemanusiaan dalam menanggapi darurat bencana Covid-19 itu.
Direktur Eksekutif Elsam Wahyu Wagiman, Jumat (20/3/2020), mengatakan, Surat Edaran Mahkamah Agung No 1/2020 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Hakim dan Aparatur Peradilan untuk Mencegah Penyebaran Covid-19 di Lingkungan MA RI dan Badan Peradilan di Bawahnya tidak menggambarkan ketegasan sikap dan upaya maksimal pencegahan penularan Covid-19. Padahal, pemerintah melalui gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 telah menetapkan status sebagai darurat bencana tertentu. Perkembangannya, pasien yang terinfeksi virus korona terus meningkat dengan angka kematian tertinggi di Asia Tenggara.
Indikasi tersebut, menurut Wahyu, tecermin dari surat edaran tersebut bukan merupakan keputusan langsung Ketua MA, tetapi Sekretaris MA. Kedua, dalam surat edaran juga diatur bahwa persidangan perkara pidana, militer, dan jinayat tetap dilangsungkan sesuai jadwal persidangan yang telah ditetapkan. Opsi penangguhan diberikan, tetapi keputusan itu diserahkan kepada majelis hakim.
Surat edaran itu merupakan hasil keputusan rapat pimpinan MA. Secara garis besar, surat mengatur sistem kerja di MA dan peradilan di bawahnya baik kegiatan sidang, penyelenggaraan kegiatan, maupun perjalanan dinas. Namun, secara spesifik, penanganan hakim dan aparatur pengadilan yang sakit, seperti batuk, pilek, demam, sesak napas, dan memiliki riwayat interaksi dengan pasien positif Covid-19, diserahkan kepada pimpinan satuan kerja. Begitu juga terkait dengan persidangan di pengadilan yang diserahkan sepenuhnya kepada majelis hakim yang menangani perkara.
Faktanya, masih banyak persidangan di pengadilan tata usaha negara, pengadilan agama, dan pengadilan negeri tetap berjalan. Akibatnya, pengadilan menjadi tempat berkerumun banyak orang mulai dari pencari keadilan, advokat, jaksa, polisi, ataupun pengunjung sidang. Dari pemantauan Elsam, belum ada protokol khusus korona di lingkungan pengadilan. Di beberapa pengadilan, tidak ada pengecekan suhu tubuh pengunjung sidang. Padahal, hal itu sangat krusial untuk mencegah penularan virus korona baru di lingkup pengadilan.
”Dengan memberikan opsi untuk melaksanakan persidangan di pengadilan di bawahnya, MA tidak mengindahkan himbauan dari presiden dalam pencegahan penyebaran Covid-19,” ujar Wahyu.
Dikonfirmasi mengenai hal tersebut, Kepala Hukum dan Biro Humas Mahkamah Agung Abdullah mengatakan, MA tidak bisa mengatur penangguhan persidangan perkara pidana terutama untuk terdakwa yang masa penahanannya hampir habis. Pasalnya, hal tersebut menyangkut hak terdakwa memperoleh keadilan dan perkaranya segera diputus. MA juga menjaga supaya perkara pidana tersebut tidak lepas demi hukum.
”Kalau sidangnya ditunda, status terdakwa di rutan atau di lembaga pemasyarakatan apa? Ditahan atau dibantarkan?” tutur Abdullah.
Menurut Abdullah, terkait penangguhan persidangan, MA tidak bisa memutuskan sendiri. MA harus berkoordinasi dengan berbagai pihak terutama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Kejaksaan. Harus ada inisiatif dari setiap pihak untuk membahas hal tersebut. Sementara itu, dalam situasi darurat Covid-19 ini, pertemuan tersebut belum bisa difasilitasi.
Wahyu mengatakan, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM telah menerbitkan Instruksi Nomor: PAS-08.OT.02.02 Tahun 2020 tentang Pencegahan, Penanganan, Pengendalian, dan Pemulihan Covid-19. Dalam instruksi itu disebutkan, terhitung sejak Rabu, 18 Maret 2020, kegiatan pelayanan kunjungan, penerimaan tahanan baru, dan kegiatan sidang ditunda sampai batas waktu yang akan diberitahukan.
Namun, MA menanggapi himbauan bekerja di rumah dengan penerbitan Surat Edaran Mahkamah Agung yang menyerahkan kembali kepada majelis hakim setiap perkara untuk memutuskan penundaan sidang atau tidak.
”Padahal, sesuai Pasal 79 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, MA dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam UU tersebut. Ini bisa jadi modal besar bagi MA untuk lebih tegas dan serius dalam mencegah meluasnya penyebaran Covid-19,” kata Wahyu.
Ketua MA perlu mengambil langkah lebih tegas dan serius untuk melindungi seluruh hakim dan pegawai MA, badan peradilan di bawahnya, pencari keadilan, advokat, jaksa, dan polisi dari penyebaran Covid-19 dengan menunda seluruh persidangan dan registrasi perkara baru hingga kondisi membaik.
Oleh karena itu, Elsam mendesak MA untuk melaksanakan empat hal, yaitu mewujudkan sistem peradilan yang lebih humanis dan sensitif dengan situasi nasional khususnya penetapan darurat bencana Covid-19 di Indonesia; Ketua MA perlu mengambil langkah lebih tegas dan serius untuk melindungi seluruh hakim dan pegawai MA, badan peradilan di bawahnya, pencari keadilan, advokat, jaksa, dan polisi dari penyebaran Covid-19 dengan menunda seluruh persidangan dan registrasi perkara baru hingga kondisi membaik. Selain itu, Elsam juga mendesak MA berkoordinasi dan membuat kesepakatan bersama dengan Kemenkumham dan Kejaksaan terkait penundaan persidangan khususnya terkait jangka waktu penahanan di persidangan perkara pidana.
Terakhir, Elsam juga memberikan masukan bahwa sebagai alternatif, MA dan pengadilan tingkat pertama dapat memaksimalkan penggunaan sistem e-court dan e-litigasi khususnya untuk administrasi perkara, prosedur persidangan untuk perkara perdata, perdata agama, dan tata usaha negara.
Adapun terkait memaksimalkan peralatan modern dalam persidangan seperti e-court dan e-litigasi, hal itu belum bisa digunakan dalam perkara pidana. Sebab, jika ingin menyidangkan perkara pidana melalui elektronik, Indonesia perlu mengubah dulu aturan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal itu tentu membutuhkan waktu yang lama karena harus dibahas bersama dengan DPR.
Abdullah juga mengibaratkan kinerja pegawai MA dan peradilan di bawahnya sebagai pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan dari rumah. Hal ini sama seperti pekerjaan yang dilakukan oleh dokter dan perawat yang tetap bertugas di rumah sakit. Meskipun demikian, MA tetap mengimbau internal mereka dan juga badan peradilan di bawahnya untuk tertib melakukan protokol korona. Hal itu dinilai sudah menjadi upaya pencegahan di lingkup peradilan yang menganut adagium fiat justicia ruat caelum atau hendaklah keadilan ditegakkan walaupun langit akan runtuh.
“Sampai saat ini belum ada keputusan untuk merevisi surat edaran Sekretaris MA tersebut. Kami merasa SE tersebut sudah cukup untuk mengantisipasi situasi terkini dan tugas pokok fungsi lembaga peradilan,” kata Abdullah.