Presiden: Pembebasan Bersyarat Hanya untuk Napi Pidana Umum, Bukan Koruptor
Presiden Jokowi menegaskan, pemerintah belum akan merevisi PP No 99/2012. Dengan demikian, ditegaskan tidak ada napi koruptor yang akan dikeluarkan dari LP terkait dengan upaya penanggulangan wabah Covid-19 di penjara.
Oleh
Nina Susilo
·3 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Pemerintah memberikan pembebasan bersyarat kepada 30.000 narapidana untuk mengurangi potensi penularan Covid-19 di lembaga-lembaga pemasyarakatan. Namun, pembebasan bersyarat itu hanya diberlakukan untuk narapidana tindak pidana umum, bukan untuk narapidana kasus korupsi.
Presiden Joko Widodo menegaskan hal ini dalam pengantar rapat terbatas yang dipimpinnya bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin melalui telekonferensi dari Istana Kepresidenan Bogor, Senin (6/4/2020).
”Tentu ada kriteria dan pengawasannya. Dan mengenai narapidana korupsi, tidak pernah dibicarakan dalam rapat-rapat kita. Jadi mengenai PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 99 Tahun 2012 tidak ada revisi untuk ini,” kata Presiden.
Pembebasan bersyarat dilakukan untuk mencegah penularan Covid-19 di LP dan rutan seperti diterapkan negara-negara lain. Saat ini, Iran, misalnya, membebaskan 95.000 napi dan Brasil 34.000 napi. Indonesia pun menerapkan pembebasan bersyarat, tetapi hanya untuk narapidana dari kasus-kasus pidana umum. Selain itu, kata Presiden, ada syarat, kriteria, dan pengawasannya.
Sejauh ini, pemerintah memberikan pembebasan bersyarat kepada 30.000 narapidana. Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menjelaskan bahwa dirinya tidak ingin membebaskan narapidana koruptor. Dia menegaskan, pembebasan bersyarat ini dilakukan karena penjara di Indonesia sangat kelebihan penghuni. Banyak sel yang dihuni melebihi kapasitasnya.
Selain itu, pembebasan bersyarat juga sesuai dengan anjuran Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia dan Subkomite PBB Anti-Penyiksaan. Dia meminta masyarakat tidak berkomentar di media sosial tanpa fakta, tanpa data, dan malah memprovokasi.
Pembebasan bersyarat ini mengikuti PP No 99/2012 mengenai Perubahan Kedua atas PP 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam aturan ini, selain napi anak dan mereka yang sudah berusia lanjut, pembebasan bersyarat juga diberikan kepada mereka yang sudah menjalani 2/3 masa hukuman.
Pemberian remisi bagi napi terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya harus memenuhi syarat tertentu. Syarat itu seperti bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya, membayar lunas denda dan uang pengganti, dan telah mengikuti program deradikalisasi.
Kelompok-kelompok masyarakat sipil mengapresiasi langkah pemerintah membebaskan para narapidana, terutama napi anak melalui sistem asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas. Hal ini diakui perlu dilakukan karena potensi penularan Covid-19 di penjara sangat mungkin terjadi dan belum ada jaminan penghuni LP/rumah tahanan bisa mendapatkan air bersih, masker, sabun, dan kebutuhan lainnya untuk mencegah penularan virus. Namun, diharapkan hal ini bisa dilakukan secara adil tanpa diskriminasi.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Erasmus Napitupulu berharap ada langkah yang lebih signifikan untuk mengurangi jumlah penghuni LP dan Rutan. Pengurangan jumlah penghuni sebanyak 30.000 hanya akan mengurangi sekitar 11 persen penghuni rutan dan LP. Masih akan ada sekitar 240.000 penghuni rutan dan LP, sedangkan kapasitas rutan/LP hanya 130.000 penghuni.
Karena itu, kata Erasmus, ICJR telah mengirimkan rekomendasi kepada Menkumham dan mendorong agar Presiden Joko Widodo dan pemerintahannya dapat mengupayakan pemberian grasi dan amnesti massal di samping percepatan pemberian pembebasan bersyarat.
Hal ini bisa diprioritaskan kepada kelompok-kelompok tertentu, seperti napi lansia yang berusia 65 tahun ke atas, napi yang menderita penyakit komplikasi bawaan, napi perempuan yang hamil atau membawa bayi/anak, pelaku tindak pidana ringan yang dihukum penjara di bawah 2 tahun, pelaku tindak pidana tanpa korban, pelaku tindak pidana tanpa kekerasan, dan napi pengguna narkotika.
Komposisi napi kasus narkotika dalam rutan/LP sekitar setengah dari keseluruhan penghuni rutan/LP, yakni 132.452 orang per Februari 2020. Dari jumlah tersebut, setidaknya 45.674 orang adalah pengguna/pencandu narkotika yang perlu diprioritaskan untuk segera dikeluarkan.
Untuk kasus narkotika, ICJR mencatat bahwa komposisi napi kasus narkotika dalam rutan/LP sekitar setengah dari keseluruhan penghuni rutan/LP, yakni 132.452 orang per Februari 2020. Dari jumlah tersebut, setidaknya 45.674 orang adalah pengguna/pencandu narkotika yang perlu diprioritaskan untuk segera dikeluarkan.
Erasmus menambahkan, pelepasan pada kelompok tersebut tentu bergantung pada penilaian risiko (risk assessment) yang dilakukan oleh Kemenkumham. Setelah ada aturan tentang Revitalisasi Pemasyarakatan, semestinya Kemenkumham memiliki daftar narapidana dalam risiko rendah dan sedang. Mereka bisa dipertimbangkan untuk mendapatkan grasi atau amnesti.