Tetap Bahas RUU Kontroversial, Pemerintah-DPR Lukai Hati Rakyat
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat diharapkan bersikap bijak dan menunjukkan kepekaan terhadap krisis yang sedang terjadi.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mencederai hati rakyat jika memaksakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta dan RUU problematik lain di tengah pandemi Covid-19. Kedua lembaga negara itu diharapkan bersikap bijak dan menunjukkan kepekaan terhadap krisis yang sedang terjadi.
Pada Selasa (14/4/2020), Badan Legislasi DPR akan menggelar rapat kerja dengan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartanto terkait pembahasan RUU Cipta Kerja. Raker akan menentukan kelanjutan pembahasan RUU sapu jagat itu. Sebab, selain mendengarkan paparan pemerintah, DPR akan menanyakan kesiapan dan kesanggupan pemerintah membahas RUU yang terdiri atas 11 kluster persoalan itu.
”Seharusnya DPR lebih sensitif dan sebagai wakil rakyat memprioritaskan kerjanya untuk ikut membantu penyelesaian masalah aktual yang dihadapi rakyat, yakni wabah korona. Jika DPR terus membahas RUU-RUU tersebut, mereka benar-benar tidak punya sense of crisis,” ujar Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, Senin (13/4), saat dihubungi dari Jakarta.
Bijak pula jika Presiden Jokowi menarik, membatalkan, atau menunda pembahasan RUU itu di DPR.
DPR juga sebaiknya meminta secara tegas kepada pemerintah untuk menunda pembahasan RUU Cipta Kerja. Sebaliknya, bijak pula jika langkah penundaan pembahasan itu diambil oleh pemerintah selaku pengusul.
”Kalau mau benar, DPR meminta kepada Presiden Jokowi (Joko Widodo) agar menunda pembahasan. Bijak pula jika Presiden Jokowi menarik, membatalkan, atau menunda pembahasan RUU itu di DPR,” katanya.
Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya mengatakan, DPR memutuskan untuk membawa pembahasan RUU Cipta Kerja ini dalam raker karena ingin menanyakan kesiapan pemerintah sebagai pengusul RUU. Lagi pula, DPR beralasan, pembahasan RUU ini tidak dilakukan dengan mekanisme biasa. Biasanya setiap raker dengan pemerintah akan langsung diikuti pandangan fraksi-fraksi dan mini fraksi serta daftar inventarisasi masalah (DIM) oleh fraksi.
”Namun, karena kondisi darurat, mekanisme pembahasan sedikit diubah, yakni dengan mengedepankan paparan pemerintah, sedangkan DIM tidak perlu disertakan dulu. Pembahasan DIM akan dilakukan setelah Baleg DPR selesai menerima masukan dari publik,” katanya.
Willy menambahkan, tak ada target waktu penyelesaian DIM. Fraksi diberi keleluasaan untuk membahas DIM di tingkat internal mereka dengan membedah masalah di tiap kluster.
Apakah sense of crisis DPR sudah hilang atau lebih buruk lagi, rasionalitas mereka hilang.
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, mengkritik DPR yang seolah tidak berani mengambil inisiatif menunda pembahasan dan menunggu raker dengan pemerintah. Dalam kondisi darurat seperti ini, DPR seharusnya menunjukkan visi dan sikap sebagai representasi publik. Peran ini ditunjukkan dengan kebijakan yang berorientasi pada kebutuhan rakyat saat ini.
”Apakah sense of crisis DPR sudah hilang atau lebih buruk lagi, rasionalitas mereka hilang dengan terus menjalankan tahapan pembahasan RUU problematik di DPR. Ini (Covid-19) adalah tragedi bersama sehingga harusnya bersama-sama rakyat menghadapi ini. Cepat atau lambat, dampaknya juga akan mereka rasakan,” kata Mada.
Sementara itu, Fraksi Partai Demokrat menolak pembahasan RUU Cipta Kerja dilakukan saat ini. Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Teuku Riefky Harsya mengatakan, partainya tegas meminta pembahasan itu ditunda.