Penanganan Covid-19 butuh anggaran besar. Namun, jangan sampai diselewengkan satu rupiah pun. Oleh karena itu, pengawasan mulai dari realokasi anggaran perlu dilakukan. Aparat pengawas perlu mendampingi sejak awal.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengawasan dalam realokasi anggaran penanganan Covid-19 terus dilakukan agar tepat sasaran dan tidak terjadi penyelewengan. Lembaga pengawas bersama dengan penegak hukum terus melakukan pendampingan dan melakukan mitigasi agar tidak terjadi pelanggaran dalam penggunaan anggaran sekecil apa pun.
Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh mengatakan, sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 tentang Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran, serta Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, BPKP memiliki tugas untuk mendampingi dan mengawal.
”Kita perlu cepat sehingga prosesnya pun berbeda dengan yang biasanya sehingga beberapa peraturan baru diperlukan. Kita sebagai pengawas tentu dihadapkan pada masalah kontrol. Kecepatan dan kontrol menjadi dua hal yang bertolak belakang. Kalau dia cepat, kontrol menjadi lemah. Karena itu, kita harus memastikan apa yang dilakukan terstruktur, terukur, dan akuntabel,” tutur Ateh saat dihubungi di Jakarta, Jumat (17/4/2020).
Kecepatan dan kontrol menjadi dua hal yang bertolak belakang. Kalau dia cepat, maka kontrol menjadi lemah. Karena itu, kita harus memastikan apa yang dilakukan terstruktur, terukur, dan akuntabel.
Ia menjelaskan, agar kebijakan yang dilakukan pemerintah bisa efektif dan efisien, BPKP telah membentuk tim untuk mendampingi serta mengawasi. Mereka berada di pusat bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan Kementerian Desa untuk pendampingan awal termasuk pendayagunaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Adapun untuk pelaksanaannya di tingkat daerah, BPKP berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk mendampingi pemerintah daerah. Hingga saat ini, sudah ada Rp 56,5 triliun yang merupakan realokasi anggaran dari pemerintah daerah. Dana tersebut digunakan untuk kesehatan, jaring pengaman sosial, dan dukungan industri UMKM.
BPKP juga bekerja sama dengan aparat penegak hukum, seperti Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam pelaksanaan pengawasan ini. Jika terjadi penyimpangan, kedua aparat penegak hukum tersebut yang akan menindak.
Selain berkoordinasi untuk pendampingan, BPKP juga harus melakukan mitigasi risiko. Ateh menegaskan, proses penganggaran yang saat ini sedang dilakukan oleh pemerintah harus dilaksanakan secara hati-hati. Selain itu, BPKP akan terus mengawasi agar tidak terjadi penyimpangan. ”Anggaran tersebut harus tepat sasaran dan tidak sembarangan,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, titik rawan dalam penggunaan anggaran Covid-19 tersebut antara lain pembelian gedung yang tidak penting, pengadaan mobil ambulans baru, dan jumlah alat pelindung diri yang tidak sesuai dengan pembelian.
Untuk mencegah terjadinya penyelewengan tersebut, perlu ada pengawasan dan pengecekan. Ateh pun berharap masyarakat ikut membantu dalam pengawasan. Selain mengawasi anggaran Covid-19, BPKP juga mengawasi hibah dari masyarakat agar tidak masuk ke kantong pribadi.
Kirim intelijen
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Hari Setiyono mengatakan, Kejagung terlibat dalam mengamankan dana Covid-19 dengan mengirimkan intelijen di tingkat pusat dan daerah, termasuk saat ini yang sedang dalam proses penganggaran.
”Kami pantau agar jangan sampai ada anggaran ganda. Jangan sampai pemerintah daerah menganggarkan apa yang sudah dianggarkan juga oleh pemerintah pusat,” kata Hari.
Kejagung harus memastikan, dana Covid-19 ini tidak digunakan untuk kepentingan pribadi. Karena itu, mereka akan mengecek apakah uang yang sudah dianggarkan sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
Sebagai benteng terakhir, Kejagung akan terus memantau laporan yang ada. Ketika ada data yang menyimpang dan mengarah ke tindak pidana korupsi, tim intelijen yang akan mencari informasi terkait penyimpangan tersebut. Adapun Kejagung memperoleh sumber data dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), BPKP, dan informasi dari masyarakat.
Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan mengatakan, saat ini KPK belum menemukan adanya pelanggaran karena masih dalam proses realokasi anggaran. Pada tahap realokasi, KPK dan BPKP perwakilan provinsi fokus untuk memastikan apakah kegiatan yang direncanakan relevan dan efektif untuk penanganan Covid-19.
Bentuk potensi korupsi tersebut adalah pengabaian prosedur pengadaan barang/jasa, perekrutan orang yang tidak dapat melaksanakan protokol perawatan yang kompleks, dan pemberian gaji serta tunjangan kepada petugas kesehatan yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Pahala mengungkapkan, titik kerawanan dana Covid-19 terletak pada pengadaan barang/jasa. Selain itu, jaring pengaman sosial juga rawan terjadi pelanggaran, seperti ketidaksesuaian jumlah penerima. Pelanggaran bisa terjadi saat pemberian uang tunai ataupun barang. Selain itu, program pemberdayaan masyarakat juga rawan terjadi pelanggaran.
Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbakhul Hasan mengatakan, ada potensi korupsi dalam penggunaan dana Covid-19. Bentuk korupsi tersebut adalah pengabaian prosedur pengadaan barang/jasa, perekrutan orang yang tidak dapat melaksanakan protokol perawatan yang kompleks, dan pemberian gaji serta tunjangan kepada petugas kesehatan yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Adapun potensi korupsi bantuan sosial di antaranya pendataan dilakukan serampangan, penerima bantuan salah sasaran, penggelapan dana bantuan, jumlah bantuan tidak sesuai dengan yang seharusnya diberikan, pungutan liar yang dilakukan oleh oknum pembagi bantuan, dan pembiayaan ganda.