Menengok Kembali Dinamika Penundaan Tiga Bulan Pilkada Serentak
Pilkada 2020 pekan lalu disepakati ditunda tiga bulan menjadi 9 Desember 2020 kendati banyak keraguan menyelubungi di tengah pandemi Covid-19 yang belum jelas kapan usai. Bagaimana dinamika pembahasan penundaan itu?
Setelah ditunda sepekan, rapat dengar pendapat lanjutan antara DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu telah berlangsung pada Selasa pekan lalu. Rapat yang berlangung secara daring selama sekitar 3 jam itu membahas tiga opsi pelaksanaan pilkada setelah penundaan yang sebelumnya telah disampaikan Komisi Pemilihan Umum.
Pilkada di 270 daerah yang sedianya dilaksanakan pada 23 September 2020 disepakati untuk ditunda akibat penyebaran wabah Covid-19 yang disebabkan virus korona baru. Dalam rapat itu, tiga pilihan yang dipaparkan oleh KPU ialah 9 Desember 2020 sebagai opsi pertama, 17 Maret 2021 sebagai opsi kedua, dan 29 September 2021 sebagai opsi ketiga.
Namun, ada sejumlah prasyarat sebelum itu bisa dilakukan. Salah satu yang penting ialah diterbitkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) pada akhir April dan berakhirnya masa tanggap darurat penyebaran Covid-19 pada 29 Mei 2020.
Pada rapat lanjutan itu, Komisi II DPR akhirnya menyetujui usulan pemerintah untuk menunda Pilkada Serentak 2020 menjadi 9 Desember 2020, atau ditunda sekitar tiga bulan. Selain itu, disimpulkan pula bahwa sebelum dimulainya tahapan Pilkada Serentak 2020, Komisi II DPR bersama Mendagri dan KPU akan melaksanakan rapat kerja. Hal itu akan dilakukan seusai masa tanggap darurat berakhir. Agendanya membahas perkembangan penanganan pandemi Covid-19. Selain itu, sekaligus pula memperhatikan kesiapan pelaksanaan tahapan lanjutan Pilkada Serentak 2020.
Baca juga: Rumit dan Mahal, Penyelenggaraan Pemilu di Tengah Pandemi Covid-19
Rapat dengar pendapat tersebut merupakan kelanjutan dari rapat serupa pada 30 Maret. Pada rapat dengar pendapat awal itu, selain menyepakati penundaan pilkada lewat perppu, disepakati pula untuk mengalihkan dana pilkada untuk penanganan wabah Covid-19.
Pembahasan di rapat dengar pendapat lanjutan sempat membicarakan kemungkinan perubahan rencana pengalihan anggaran. Usulan untuk membekukan terlebih dahulu anggaran pilkada yang sudah digelontorkan sempat diutarakan Mendagri Tito Karnavian.
Akan tetapi, usulan itu tidak menjadi kesimpulan akhir. Salah satu alasan yang sempat dikemukakan sebagian anggota DPR ialah kesimpulan rapat dengar pendapat sebelumnya yang sudah menyepakati dilakukannya pengalihan anggaran. Pada rapat lanjutan itu, hal yang sempat mengemuka ialah pertanyaan mengenai alasan di balik pilihan pemerintah menentukan 9 Desember 2020 sebagai waktu pelaksanaan pilkada.
Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Yaqut Cholil Qoumas, mempertanyakan argumentasi di balik pemilihan tanggal 9 Desember. Menurut dia, pemerintah mestinya terlebih dahulu memberikan peta jalan yang jelas penanganan wabah tersebut. Hal ini dinilai penting untuk memutuskan pelaksanaan pilkada.
Yaqut kemudian merujuk tiga hal yang membuatnya pesimistis bahwa penanganan wabah Covid-19 bisa berlangsung cepat. Pertama, ia menilai kepemimpinan yang lemah. Contohnya adalah kebijakan pemerintah yang saling bertolak belakang. Satu lembaga negara membolehkan tukang ojek daring mengangkut penumpang dan lembaga lainnya mengeluarkan kebijakan yang tidak membolehkan mengangkut penumpang.
Kedua, otoritas medis yang dinilai tidak kuat. Ini mengingat ketersediaan personel, alat pelindung diri, infrastruktur rumah sakit, dan prosedur operasi standar yang relatif belum jelas. Hal lain yang juga disoroti adalah rasa saling percaya yang kurang antara masyarakat dan pemerintah.
Berlangsung alot
Pembahasan sempat berlangsung alot menyusul pendapat yang terbelah. Sebagian anggota DPR cenderung pada opsi kedua, yakni pilkada pada Maret 2021. Sebagian lagi relatif lebih sepakat bila pilkada dilaksanakan pada 29 September 2021.
Anggota Komisi II dari Fraksi PDI-P, Johan Budi, mengatakan bahwa dirinya mengusulkan agar pilkada dilakukan pada Maret 2021. Hal ini terkait ruang lebar yang perlu diberikan untuk bisa diterbitkannya perppu. Jika pilkada dilaksanakan pada Desember 2020, hal ini mesti ditinjau dari betapa singkatnya waktu yang dimiliki pemerintah untuk menerbitkan perppu.
Apalagi, Presiden baru saja menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional pada Senin (13/4/2020).
Sebagian anggota DPR lain yang cenderung pada opsi ketiga adalah Cornelis dari Fraksi PDI-P. Ia menyampaikan pendapat dengan cukup singkat. Cornelis hanya menyarakan agar pilkada dilakukan September 2021. Alasannya ialah supaya ada kelonggaran bagi kepala daerah dalam menyiapkan dana guna penanganan wabah Covid-19.
Kristiana Muki dari Fraksi Partai Nasdem mengemukakan pendapat serupa. Menurut dia, opsi ketiga lebih menjadi pilihan agar pemerintah bisa lebih dahulu memperhatikan pandemi.
Sebelumnya, Tito menjelaskan bahwa pemerintah tetap pada opsi optimistis bahwa pilkada bakal dilaksanakan akhir 2020. Akan tetapi, belum ada penjelasan detail dari sisi penanganan wabah Covid-19 mengapa pilihan itu yang diambil.
Bahwa dalam hal bulan Desember 2020 tidak bisa dilaksanakan, maka pilkada selambat-lambatnya dilaksanakan tahun 2021.
Tito menyebutkan, memang akan sulit seandainya mengambil suatu opsi. Hal ini mengingat tidak ada satu negara pun yang bisa menentukan kapan wabah tersebut akan berakhir. Namun, Tito berandai jika kelak vaksin dan obat Covid-19 ditemukan, akan selesai pula wabah tersebut.
Sekalipun ia tetap pula mengusulkan bahwa dalam perppu kelak tetap disebutkan bahwa dalam hal bulan Desember 2020 tidak bisa dilaksanakan, maka pilkada selambat-lambatnya dilaksanakan tahun 2021.
Proses panjang
Padahal, untuk menghasilkan vaksin dari penyakit yang baru berkembang dibutuhkan waktu relatif panjang, yakni satu tahun hingga dua tahun lagi.
Pakar epidemiologi dan biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, menyebutkan hal itu dalam diskusi daring pada Minggu (19/4/2020) bertema ”Pilkada 9 Desember 2020, Mungkinkah?”. Menurut dia, waktu satu tahun hingga dua tahun itu bisa dipercepat menjadi sekitar enam bulan jika para ilmuwan bersatu.
Namun, persoalannya, vaksin relatif sulit dihasilkan dari virus yang mudah bermutasi. Dalam hal ini, pembuatan vaksin mesti dilakukan dengan mencari bagian virus yang mudah dikenali tubuh. Harapannya, tubuh akan mampu membuat antibodi dan menangkal virus dengan baik. Jika hal itu berhasil, tidak akan terjadi infeksi. Namun, virus pencetus Covid-19 relatif tidak mudah diatasi.
Belum lagi jika merujuk pada sejumlah pemodelan yang dibuat Pandu dan timnya. Dari tiga model dengan tiga intervensi pada estimasi kasus harian di Indonesia yang membutuhkan perawatan di rumah sakit, tiga puncak kurva yang terbentuk berada pada awal hingga akhir Mei 2020. Pelandaian kurva baru terjadi pada Juli 2020. Padahal, jika pilkada hendak dilangsungkan pada 9 Desember 2020, tahapan lanjutan dengan interaksi fisik harus sudah dimulai lagi awal Juni.
Terdapat pula perbedaan sangat besar terkait tiga intervensi tersebut. Pada intervensi rendah (jaga jarak sosial secara sukarela, membatasi kerumunan massa), diperkirakam bakal ada 60.000 kasus butuh perawatan di rumah sakit pada pekan pertama hingga kedua Mei 2020.
Pada tingkat intervensi moderat (tes massal cakupan rendah, mengharuskan pembatasan sosial, penutupan sekolah dan aktivitas bisnis), diperkirakan ada 30.000 kasus butuh perawatan di rumah sakit pada minggu kedua dan ketiga Mei 2020. Sementara dengan intervensi tinggi (tes massal cakupan tinggi dan mewajibkan pembatasan sosial berskala besar/PSBB), diperkirakan 12.000 kasus perlu perawatan di rumah sakit pada minggu ketiga dan keempat Mei 2020.
Pandu menyebutkan, PSBB yang dilakukan saat ini baru bersifat lokal. Padahal, yang dibutuhkan PSBB skala nasional. Ini mengingat keberadaan virus yang tidak mengenal batasan geografis. Jika yang diterapkan PSBB skala lokal, diperkirakan tidak semua provinsi bisa menyelesaikan persoalan wabah itu secara bersama.
Belum lagi jika ditambah dengan aktivitas mudik. Pandu memperkirakan, jika itu terjadi, wabah Covid-19 akan terjadi terus secara bergelombang-gelombang. Pemerintah, pada 21 April, sudah memutuskan untuk melarang mudik, terutama bagi warga di zona merah Covid-19, yakni Jabodetabek. Larangan itu akan efektif diterapkan pada 24 April, lalu diikuti dengan penerapan sanksi mulai 7 Mei.
Meski demikian, efektivitas larangan ini masih sangat tergantung pada kemampuan pemerintah menyiapkan detail teknis pelarangan, sosialisasi yang masif dan persuasif agar diterima masyarakat, sanksi tegas, serta kesediaan masyarakat untuk menunda mudik.
Semua kondisi itu membuat Pilkada Serentak 2020 yang hendak dijadwalkan pada 9 Desember 2020 seolah berada di ujung tanduk. Jika pun dilaksanakan, dan seandainya gelombang demi gelombang wabah itu datang bergantian, maka bakal membuat keserentakannya di titik nadir.
Kini bola ada di tangan pemerintah. Apakah pemerintah tetap akan bersikukuh menetapkan tanggal 9 Desember 2020 di perppu penundaan pilkada? Kita tunggu saja.