KPK merekomendasikan penggunaan data terpadu kesejahteraan sosial milik Kemensos sebagai dasar penyaluran bantuan sosial kepada masyarakat miskin dan terdampak wabah Covid-19. Data itu perlu dipadu dengan data non-DTKS
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Permasalahan data masih menjadi kendala pemerintah dalam pemberian bantuan sosial kepada masyarakat yang terdampak Covid-19. Karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi merekomendasikan penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial atau DTKS yang dikelola oleh Kementerian Sosial.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding mengatakan, DTKS sudah menjadi basis data yang selama ini digunakan untuk pemberian bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat secara nasional seperti program Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar.
”Melalui program Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas-PK), KPK telah dan terus mendorong perbaikan DTKS melalui salah satu rencana aksinya, yaitu utilisasi NIK (Nomor Induk Kependudukan),” kata Ipi melalui pesan singkat di Jakarta, Rabu (22/4/2020).
KPK mendorong pendataan di pusat dan daerah menggunakan basis data DTKS dan non-DTKS agar jaring pengaman sosial yang dialokasikan dapat tepat sasaran.
Ipi menuturkan, KPK mendorong pendataan di pusat dan daerah menggunakan basis data DTKS dan non-DTKS agar jaring pengaman sosial yang dialokasikan dapat tepat sasaran. Bantuan tersebut diharapkan dapat sampai pada masyarakat yang terdampak Covid-19 yang kehilangan sumber penghasilan karena pemutusan hubungan kerja, pedagang kecil yang tidak dapat lagi berusaha, atau pekerja di sektor jasa.
Adapun data non-DTKS adalah mereka yang terdampak Covid-19 yang sebelumnya tidak terdaftar di DTKS, tetapi tiba-tiba miskin karena kehilangan pekerjaan. Mereka menjadi target pemberian bansos di tingkat pusat maupun daerah, sehingga ketika pemda melakukan pendataan lapangan, rujukannya harus dimulai dari DTKS.
Pemadanan data di lapangan dan ke Kementerian Sosial dibutuhkan untuk menghindari data ganda atau ternyata orang yang didata sudah meninggal atau data fiktif. Karena itu, perlu ada pemadanan data dengan NIK untuk memastikan orangnya ada.
KPK telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 11 Tahun 2020 pada 21 April 2020 tentang Penggunaan DTKS dan data non-DTKS dalam pemberian Bantuan Sosial kepada Masyarakat. Ketua KPK Firli Bahuri dalam rilis media mengatakan, SE tersebut dibuat karena besarnya alokasi dana yang disiapkan pemerintah.
Dari tambahan belanja pemerintah pusat pada APBN 2020 sebesar Rp 405,1 triliun, sebanyak 27 persen atau sebesar Rp 110 triliun akan dialokasikan untuk jaring pengaman sosial termasuk untuk bansos.
Dari hasil pemusatan kembali kegiatan dan realokasi anggaran pemda per 16 April 2020, total anggaran yang direalokasikan senilai Rp 56,57 triliun atau sebesar 5,13 persen dari total APBD 2020, yakni Rp 1.102 triliun. Dari Rp 56,57 triliun tersebut, sebesar Rp 17,5 triliun atau sekitar 31 persen dialokasikan untuk belanja hibah atau bansos dalam upaya mengatasi dampak pandemi Covid-19 di daerah.
”Melalui SE yang ditujukan kepada Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di tingkat nasional maupun daerah dan pimpinan kementerian/lembaga/pemerintah daerah tersebut, KPK merekomendasikan lima hal agar pendataan dan penyaluran bansos tepat sasaran,” kata Firli.
Rekomendasi tersebut, yakni kementerian/lembaga dan pemda dapat melakukan pendataan di lapangan, tetapi tetap merujuk kepada DTKS. Jika penerima bantuan terdaftar pada DTKS, tetapi fakta di lapangan tidak memenuhi syarat sebagai penerima bantuan, harus dilaporkan ke Dinas Sosial atau Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial (Pusdatin) Kementerian Sosial untuk perbaikan DTKS.
Untuk memastikan data valid, maka data penerima bansos dari program-program lainnya atau data hasil pengumpulan di lapangan agar dipadankan data NIKnya dengan data Dinas Dukcapil setempat. Kementerian/lembaga dan pemda menjamin keterbukaan akses data tentang penerima bantuan, realisasi bantuan, dan anggaran yang tersedia kepada masyarakat sebagai bentuk transparansi serta akuntabilitas.
”KPK mendorong pelibatan dan peningkatan peran serta masyarakat untuk mengawasi. Untuk itu, kementerian/lembaga dan pemda perlu menyediakan sarana layanan pengaduan masyarakat yang mudah, murah, dan dapat ditindaklanjuti segera,” ujar Firli.
KPK mendorong pelibatan dan peningkatan peran serta masyarakat untuk mengawasi.
Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Misbakhul Hasan mengatakan, data dari DTKS bisa dijadikan data awal, tetapi perlu verifikasi di lapangan melalui musyawarah kelurahan atau desa.
”Saat ini desa akan menerima limpahan masyarakat miskin dari kota akibat PHK, tukang ojek daring yang tidak lagi bisa beroperasi, atau pekerja informal lain yang terkena dampak ekonomi akibat Covid-19,” kata Misbakhul.
Misbakhul mengusulkan, pendataan mandiri juga perlu dibuka agar warga atau keluarga yang merasa berhak menerima bantuan, tetapi tidak terdaftar, bisa mengajukan diri secara mandiri ke kepala desa atau BPD (Badan Permusyawaratan Desa) yang kemudian diteruskan ke pemerintah daerah.
Ia menambahkan, DTKS yang sudah diverifikasi seharusnya dipublikasikan sebagai bentuk transparansi pemerintah dan agar dapat memperoleh masukan serta kontrol dari masyarakat.