Pola Komunikasi Pemerintah Selama Pandemi Covid-19 Picu Ketidakpercayaan Publik
Pola komunikasi pemerintah dalam penanganan Covid-19 dianggap tidak peka terhadap kondisi krisis. Situasi tersebut akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyebaran penyakit akibat virus korona baru di Indonesia sudah memasuki bulan kedua. Pola komunikasi pemerintah dalam penanganan Covid-19 dianggap tidak peka terhadap kondisi krisis. Situasi tersebut, akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah.
Hal itu yang mengemuka dalam diskusi bertajuk ”Penanggulangan Covid-19: Perspektif Governabilitas dan Decisiveness Otoritas” yang diadakan oleh Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) secara telekonferensi, Kamis (23/4/2020).
Hadir sebagai pembicara pengajar Fisipol UGM Mada Sukmajati, Direktur Program Kemitraan Ahmad Qisa\'i, dan Wakil Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI) Hurriyah. Diskusi dimoderatori oleh Direktur Eksekutif SPD August Mellaz.
Hurriyah mengatakan, kebijakan pemerintah untuk menutupi informasi dan data penanganan Covid-19 justru membuat publik kian tidak percaya terhadap pemerintah. Dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo mengatakan tidak dibukanya informasi mengenai Covid-19 untuk mengurangi kepanikan. Namun, akibatnya, setelah dua bulan masyarakat mengalami krisis kesehatan, warga mulai tidak percaya dengan data statistik yang dikeluarkan pemerintah. Kepercayaan publik terhadap pemerintah kian tergerus.
Dampak lebih lanjut, kebijakan pemerintah untuk memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak efektif. Karena pemerintah juga tidak menunjukkan bahwa negara menghadapi situasi serius, akhirnya masyarakat memilih tidak perlu memenuhi anjuran pemerintah.
Buktinya, banyak warga yang pulang kampung selama dua bulan terakhir. Padahal, mobilitas orang dari satu wilayah ke wilayah lain berpotensi menularkan virus korona baru.
”Kepemimpinan pada masa krisis menjadi kunci penanganan Covid-19 di Indonesia. Kepemimpinan harus tegas (firm) dan mengutamakan kekuatan logika. Sementara di Indonesia, hanya karena menghindari kepanikan masyarakat, akhirnya masyarakat juga tidak bisa menangkap situasi luar biasa akibat pandemi Covid-19. Masyarakat akhirnya ikut menyepelekan,” kata Hurriyah.
Berbagai pernyataan presiden dan menteri kesehatan di publik misalnya, cenderung meremehkan dan menyangkal bahaya virus korona. Pada awalnya, Indonesia mengklaim bebas dari korona. Kalaupun virus tersebut masuk, kekuatan doa akan mengatasi permasalahan tersebut. Selain itu, juga muncul pernyataan pejabat bahwa jamu bisa mencegah penularan virus korona. Bahkan, awak kapal pesiar Diamond Princess dinyatakan sebagai duta imunitas.
Data yang rinci dan detail termasuk riwayat kontak (contact tracing) pasien positif Covid-19 tidak dibuka kepada publik. Selain itu, ada perbedaan data statistik antara data pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Laporan data pemerintah pusat juga dianggap telat dibandingkan kajian dari ahli epidemologi. Akibatnya, banyak pasien positif Covid-19 meninggal sebelum sempat dites.
Situasi ini sangat kontras dengan yang terjadi di Jerman misalnya. Kanselir Jerman Angela Merkel dalam pernyataan resminya terhadap warga Jerman terang-terangan mengatakan bahwa situasi yang dihadapi saat ini adalah situasi luar biasa. Ongkos kesehatan, sosial, dan ekonomi yang disebabkan oleh Covid-19 tidaklah murah. Berbagai negara gagap menghadapinya.
Fasilitas kesehatan tak siap menampung membeludaknya pasien Covid-19. Akibatnya, hotel dan fasilitas umum harus disulap menjadi rumah sakit darurat. Tenaga medis membutuhkan alat pelindung diri (APD) yang mumpuni untuk dapat menangani para pasien. Di sisi lain, tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi jaminan sosial dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat tidaklah murah.
Di Jerman, justru dengan keterbukaan pemerintah dan pola komunikasi yang diterapkan memunculkan solidaritas dan volunterisme di masyarakat. Masyarakat tergerak untuk saling membantu di tengah kondisi serba sulit. Solidaritas sosial itu dibutuhkan agar tercipta kolaborasi pemerintah dan warga dalam penanganan pandemi.
”Di Indonesia pun sama, sudah banyak pihak yang menggalang dana dan solidaritas. Namun, apakah betul negara sudah benar-benar hadir dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat?” kata Hurriyah.
Contoh keberhasilan para pemimpin dunia dalam berkomunikasi dalam penanganan Covid-19 ini, seharusnya dapat dicontoh oleh pemerintah Indonesia.
Mada Sukmajati pun melihat, kepemimpinan adalah faktor utama yang menentukan keberhasilan kebijakan pemerintah di suatu negara.
Pada saat situasi krisis seperti ini, masyarakat membicarakan tentang keberhasilan para pemimpin dunia dalam menangani Covid-19. Singapura dan Hong Kong, misalnya, disebut sebagai negara yang cepat dan responsif menangani Covid-19. Hal itu juga salah satunya dipengaruhi oleh kepemimpinan politik di negara tersebut.
”Ketika pemerintah menerapkan suasana normal dalam situasi krisis kesehatan masyarakat, akhirnya pola penyelesaiannya tidak segera di dapat. Daerah sudah banyak yang terlihat sigap, tetapi tidak diiringi dengan pemerintah pusat,” kata Mada.
Sementara itu, Ahmad Qisa\'i melihat, tidak adanya data yang rinci, lengkap, dan terbuka untuk publik membuat masalah ini tidak bisa dihadapi dengan baik. Arus informasi yang tersendat, atau justru ditutup-tutupi demi kepentingan politik tertentu membuat penanganan krisis tak kunjung tuntas. Sebab, interpretasi data dalam politik sangatlah bias.
Data yang memuat tentang banyaknya pasien positif Covid-19 misalnya, dapat dianggap sebagai keberhasilan administrasi pendataan dari instansi daerah ke pusat. Namun, di sisi lain, secara politik hal itu dapat diartikan sebagai wujud kegagalan pemerintahan.
Namun, Qisa\'i melihat, dalam beberapa waktu terakhir, sudah ada perbaikan pola dan tata kelola data dari pemerintah. Diharapkan, hal itu dapat memperbaiki pola komunikasi ataupun strategi penanganan Covid-19 di Indonesia.