Polda Metro Jaya mengamankan Ravio Patra terkait dugaan penyebaran hoaks berisi anjuran menjarah pada 30 April. Pesan itu dikirimkan ketika Whatsapp-nya diduga diretas.
Oleh
Edna C Pattisina, Ingki Rinaldi, Norbertur Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengingatkan agar Kepolisian Negara RI berhati-hati menangani kasus Ravio Patra, peneliti kebijakan publik dan pegiat advokasi legislasi, yang diamankan Polda Metro Jaya, Rabu (22/4/2020) malam. Penanganan kasus ini dapat memicu anggapan bahwa polisi menghalangi atau mencederai kebebasan berpendapat warga negara.
Kasus bermula dari penangkapan Ravio, Rabu (22/4/2020) antara pukul 21.00 dan 22.00. Ia beberapa kali melontarkan kritik terkait penanganan pandemi Covid-19 dan juga kepada salah satu staf khusus Presiden. Ravio mengetahui bahwa aplikasi percakapan Whatsapp miliknya diretas pada Selasa (21/4/2020) saat aplikasi itu memintanya untuk mendaftar ulang.
Berdasarkan kronologi yang disampaikan sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus, Ravio sempat menerima panggilan dari nomor-nomor telepon dari luar Indonesia serta beberapa nomor Indonesia.
Peretasan itu sempat diumumkan terbuka oleh Ravio melalui akun Twitter dan meminta semua pihak tidak menanggapi pesan apa pun dari nomor Whatsapp-nya. Rupanya, nomor Whatsapp Ravio mengirimkan sejumlah pesan berisi provokasi untuk melakukan penjarahan pada 30 April. Pada malam harinya, Ravio bisa menguasai nomor Whatsapp-nya, tetapi ia sudah ditangkap.
”Jangan main tangkap dan jangan sampai menimbulkan penilaian publik bahwa polisi menghalangi atau mencederai hak kebebasan berpendapat seorang warga negara,” kata Amiruddin, komisioner Komnas HAM, saat dihubungi, Kamis (23/4/2020).
Jangan main tangkap dan jangan sampai menimbulkan penilaian publik bahwa polisi menghalangi atau mencederai hak kebebasan berpendapat seorang warga negara.
Menurut dia, Polri perlu mendalami kebenaran terkait peretasan ponsel milik Ravio dan mencari pihak yang menyebar hoaks penjarahan.
Hal serupa diungkapkan pegiat Koalisi, Nelson. Ia meminta pemerintah menghentikan kriminalisasi terhadap pihak-pihak bersuara kritis dan pembungkaman warga negara.
”Presiden Joko Widodo dan Kapolri untuk segera melepaskan Ravio Patra, hentikan kriminalisasi dan pembungkaman warga negara lain,” kata Nelson.
Koalisi juga meminta agar Presiden dan Kapolri segera menghentikan upaya-upaya dari pihak tertentu untuk meretas gawai ataupun akun media sosial masyarakat yang kritis mendorong pemerintah untuk transparan dan bekerja dengan benar. Pemerintah harus memastikan setiap warga negara dilindungi oleh hukum dalam menikmati hak-hak yang dijamin oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
”Kami harapkan Polri segera membongkar siapa yang meretas HP Ravio Patra dan menyebarkan hoaks dengan WA Ravio, bukan menangkap Ravio,” ucap Nelson.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, Polda Metro Jaya telah mengamankan RPS. Hal itu berdasarkan laporan saksi berinisial DR yang telah menerima lima pesan melalui aplikasi Whatsapp yang ketika ditelusuri kepolisian adalah nomor RPS.
”Isinya mengajak untuk melakukan tindakan yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang pada tanggal tertentu di bulan April ini untuk mengadakan aksi penjarahan,” kata Argo.
RPS diamankan petugas kepolisian ketika hendak naik mobil berpelat nomor kendaraan diplomatik (CD) dari Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Saat itu, RPS bersama dengan warga Belanda berinisial RS.
Polda Metro Jaya akan melihat dulu jejak digitalnya. Hasilnya seperti apa kita tunggu, apakah itu memang diretas atau tidak, kita tunggu dari hasil labfor.
Dari pengakuan RPS, kata Argo, disebutkan bahwa nomor Whatsapp-nya telah diretas. Oleh karena itu, kepolisian kemudian menelusuri jejak digital dengan membawanya ke Pusat Laboratorium Forensik (Labfor) Polri. Sampai saat ini, kepolisian masih menunggu hasil laboratorium forensik tersebut.
”Maka, sekarang Polda Metro Jaya akan melihat dulu jejak digitalnya. Hasilnya seperti apa kita tunggu, apakah itu memang diretas atau tidak, kita tunggu dari hasil labfor,” kata Argo
Pakar digital forensik Ruby Alamsyah mengatakan, investigasi ilmiah oleh pihak berwajib penting dilakukan untuk membuktikan peretasan yang dialami Ravio dan pengiriman konten hoaks bernada provokasi yang terjadi. Ia yakin polisi bisa dan mau melakukan hal tersebut.
Ruby mengatakan, lewat metode digital forensik, kronologi kejadian bisa diketahui. Ini penting untuk membuktikan pelaku penyebaran konten hoaks bernada provokasi tersebut. ”Dengan demikian, tidak akan muncul ketakutan berlebihan di sisi masyarakat,” kata Ruby.
Menurut Ruby, untuk mengungkap kasus tersebut dibutuhkan pengecekan terhadap telepon genggam korban. Lalu, pemeriksaan berbagai kontak surat elektronik korban kepada tim pendukung teknis aplikasi Whatsapp ataupun balasan dari tim Whatsapp dan data dari operator seluler. Hal ini untuk membuktikan kapan waktu peretasan, termasuk untuk melihat durasi peretasan yang disebutkan berlangsung selama dua jam.
Dengan data yang lengkap dan sahih tersebut, ujar Ruby, akan sangat mudah untuk membuktikan siapa sebenarnya pelaku penyebaran konten hoaks bernada provokasi yang dimaksud. Karena, menurut dia, saat ini bukti tersebut tidak bisa diketahui dan tidak juga bisa ditebak.
”Tiga barang bukti digital itu sangat mudah untuk membuktikan siapa pelaku sebenarnya,” sebut Ruby.
Menurut Ruby, tidak bisa ditebak-tebak apakah aktivis tersebut merupakan korban ataukah pihak yang melakukan. Hal tersebut mestilah dibuktikan secara ilmiah.
”Minimal ketahuan dia (Ravio) diretas. Bahwa waktu pengiriman hoaks itu bukan individu dia (Ravio), itu bisa dibuktikan. Jadi, tidak perlu membangun opini dengan membela (lewat) cara lain. Ini (teknik digital forensik) membela dengan cara ilmiah, gampang, dan pasti,” sebut Ruby.