Komitmen Kejaksaan Agung untuk betul-betul mengusut kasus dugaan pelanggaran HAM berat kembali dipertanyakan setelah berkas penyelidikan kasus Paniai dikembalikan lagi ke Komnas HAM.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung berencana mengembalikan lagi berkas penyelidikan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat di Paniai, Papua, tahun 2014 ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Bolak-balik berkas Paniai menguatkan kekhawatiran bahwa kasus Paniai tak akan terungkap, sama seperti kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Hari Setiyono ketika dihubungi, Rabu (29/4/2020), mengatakan, berkas penyelidikan kasus Paniai telah diperiksa tim penyidik dari Direktorat Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung. Meski demikian, petunjuk penyidik yang dimintakan ke Komnas HAM untuk dilengkapi tidak dilakukan.
”Sesuai penjelasan Direktur Pelanggaran HAM Berat Jampidsus, berkas perkara telah dikembalikan oleh Komnas HAM. Namun, setelah diteliti, ternyata tidak ada satu pun petunjuk yang diberikan penyidik untuk dilengkapi dalam waktu 30 hari menurut ketentuan undang-undang. Ternyata (itu) tidak dilaksanakan (Komnas HAM),” kata Hari.
Pada 17 Maret lalu, berkas penyelidikan kasus Paniai dikembalikan Jaksa Agung kepada Komnas HAM karena dinilai belum memenuhi kelengkapan atau persyaratan untuk dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan pelanggaran HAM berat. Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komnas HAM diberi waktu 30 hari untuk melengkapinya. Kemudian, pada 14 April, Komnas HAM telah menyerahkan kembali berkas penyelidikan ke Jaksa Agung.
Menurut Hari, bukannya memenuhi petunjuk yang diberikan penyidik, Komnas HAM justru mengomentari petunjuk tersebut. Namun, petunjuk apa yang dimaksud, ia tak menyebutkannya.
Sebelum mengembalikan berkas itu ke Komnas HAM, lanjutnya, Direktorat Pelanggaran HAM Berat Kejagung akan menyampaikan hasil penelitiannya kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin.
”Untuk pengembalian berkas nanti masih menunggu petunjuk pimpinan lebih dahulu, yaitu Bapak Jaksa Agung selaku penyidik,” ujar Hari.
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Amiruddin Al-Rahab, mengatakan, pihaknya akan menunggu sikap Jaksa Agung. Namun, menurut dia, Komnas HAM telah melaksanakan tugasnya sebagai penyelidik. Adapun petunjuk yang disampaikan penyidik Kejagung sebelumnya dinilai sudah masuk dalam ranah Kejagung sebagai penyidik.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani kecewa terhadap sikap Kejagung. Sikap Kejagung disebutnya menegaskan pengingkaran negara atas pemenuhan keadilan bagi korban pelanggaran HAM.
Berkas yang bolak-balik antara Jaksa Agung dan Komnas HAM pun melahirkan ketidakpastian hukum, diskriminasi, dan ketidakadilan, terus mengakar menjadi impunitas yang tak berkesudahan.
”Kami tidak kaget mendengarnya karena sikap tersebut sudah menjadi pola dan modus bagi kejaksaan untuk menolak menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang mandek selama ini,” kata Yati.
Menurut dia, alasan bahwa petunjuk penyidik Kejagung tidak dilaksanakan Komnas HAM itu mengada-ada.
Sebab, mandat Komnas HAM sebagai penyelidik cukup menemukan adanya dugaan peristiwa dan unsur-unsur pelanggaran HAM yang terjadi. Jika ada kekurangan bukti materiil lainnya, seharusnya penyidik Kejagung yang mencarinya. Sebagai penyidik, mereka dapat memanggil saksi dan para terduga, termasuk menggunakan hak subpoena untuk pemanggilan paksa.
Melihat berkas Paniai bolak-balik Komnas HAM dan Kejagung atau sama seperti berkas penyelidikan kasus pelanggaran HAM lainnya yang ditangani Komnas HAM, Presiden Joko Widodo diharapkan turun tangan.
Presiden, kata Yati, mesti membuktikan janjinya untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Janji itu pernah diungkapkan Presiden saat kampanye Pemilu Presiden 2014. Janji itu juga tercantum dalam Nawacita yang merupakan visi, misi, dan program aksi Presiden Jokowi. Dalam Nawacita disebutkan, Jokowi berjanji akan memprioritaskan penyelesaian secara berkeadilan kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu.
Kemudian, dalam Pemilu Presiden 2019, Presiden Jokowi kembali berjanji melanjutkan penyelesaian yang berkeadilan kasus-kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu. Hal ini tertuang dalam visi dan misinya.