Relaksasi PSBB Kontradiktif dengan Pemutusan Rantai Virus Korona
Di tengah indikasi perlambatan penularan, Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan tengah mewacanakan pelonggaran kebijakan pembatasan sosial berskala besar. Namun, DPR menilai, pemerintah jangan gegabah terlebih dulu.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD baru-baru ini di media sosial, yang menyatakan pemerintah tengah mewacanakan pelonggaran kebijakan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB agar masyarakat tidak tegang dan berujung pada penurunan imunitas akibat pandemi Covid-19 yang terlalu lama, mengusik kontroversial.
Anggota DPR menilai, pemerintah tak boleh gegabah memutuskan relaksasi PSBB sebelum memastikan perlambatan penularan virus baru korona tersebut benar-benar signifikan. Jangan sampai kebijakan itu justru menggagalkan kebijakan pemerintah sendiri yang bertekad memutuskan mata rantai virus Covid-19.
Hingga Minggu sore, total pasien positif Covid-19 sebanyak 11.192 orang atau meningkat 349 dibandingkan dengan hari sebelumnya. Adapun, jumlah pasien yang meninggal dunia sebanyak 845 atau meningkat 14 orang dibandingkan dengan sebelumnya. Sementara yang meninggal tercatat 1.876 atau bertambah 211 orang ketimbang kemarin. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP) itu menunjukkan kurva laju penularan Covid-19 juga belum melandai.
Anggota Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay, Minggu (3/5/2020), mengatakan, wacana ini sangat kontradiktif di saat angka penularan virus Covid-19 terus bertambah. Berdasarkan data gugus tugas percepatan penanganan Covid-19, angka pasien positif Covid-19 terus bertambah. Program PSBB yang ditetapkan pemerintah pusat dan daerah pun dinilai tidak efektif. PSBB belum mampu menghalangi orang keluar rumah. Bahkan, menurut data Kementerian Perhubungan, lebih dari 1 juta orang sudah mudik ke kampung halaman.
Program PSBB yang ditetapkan pemerintah pusat dan daerah pun dinilai tidak efektif. PSBB belum mampu menghalangi orang keluar rumah. Bahkan, menurut data Kementerian Perhubungan, lebih dari 1 juta orang sudah mudik ke kampung halaman.
Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu menambahkan, PSBB memang berdampak secara sosial dan ekonomi. Orang sulit mencari nafkah. Namun, bukankah sebelumnya hal itu sudah harus dimitigasi sebelum PSBB diterapkan? Pemerintah seharusnya mampu mengamankan jaring pengaman sosial bagi masyarakat sehingga wacana relaksasi dilontarkan pada saat yang tepa,t yaitu setelah kurva penyebaran virus benar-benar turun.
Jika wacana relaksasi PSBB justru dilakukan saat kurva penularan masih naik, justru kebijakan itu akan kontradiktif dengan upaya memutus mata rantai penyebaran penyakit akibat virus korona baru. Sebab, relaksasi PSBB akan berdampak pada kembalinya aktivitas masyarakat. Orang akan kembali bekerja, jalanan akan ramai, dan orang-orang akan berkumpul.
”Faktanya, kasus positif Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda akan menurun. Malah, justru yang positif dan belum sempat dites, tetapi sudah meninggal semakin banyak. Ini artinya, PSBB masih perlu diperketat, bukan malah dilonggarkan,” kata Saleh.
Alih-alih mewacanakan relaksasi PSBB, Saleh menyarankan pemerintah untuk memastikan agar bantuan sosial dan program jaminan sosial bisa tepat sasaran dan cepat penyalurannya. Jika kebutuhan masyarakat terpenuhi, niscaya masyarakat akan patuh dan taat pada PSBB. Namun, jika kebutuhan dasar mereka tak tercukupi, tentu masyarakat akan dengan mudahnya melanggar aturan dengan alasan perut.
”Pemerintah harus menetapkan skala prioritas. Mana yang paling penting? Menjaga kesehatan dan keselamatan warga atau menjaga stabilitas ekonomi? Kalaupun keduanya dinilai penting, tentu tidak boleh mengorbankan keselamatan warga. Persoalan ekonomi masih bisa ditunda setelah pandemi ini berlalu,” kata Saleh.
Oleh karena itu, sebelum memutuskan relaksasi PSBB, pemerintah sebaiknya meminta pendapat para ahli kesehatan masyarakat. Pendapat dari para ahli kesehatan akan menjadi dasar yang kuat dalam mengambil kebijakan. Pemerintah juga harus berkoordinasi dengan gugus tugas percepatan penanganan Covid-19. Bahkan, jika perlu kinerja gugus tugas Covid-19 harus dievaluasi. Tak hanya itu, semua pihak, termasuk pemerintah daerah, juga harus dimintai pendapatnya. Jangan sampai pemerintah gegabah dan mengambil kebijakan secara top down.
Masukan ke pemerintah
Kami sedang memikirkan ini. Makanya, masyarakat harus sabar dan menjujung kebersamaan selama pandemi ini. Tidak ada hierarki dalam penularan Covid-19, semuanya bisa terkena. Oleh karena itu, mari saling menjaga jangan membiarkan ditulari dan jangan menulari orang lain.
Sebelumnya, dalam keterangan melalui akun media sosial media, Sabtu (2/5), Menkopolhukam mengatakan, pemerintah sedang memikirkan soal relaksasi PSBB. Relaksasi itu berbentuk, seperti rumah makan boleh dibuka dengan protokol kesehatan khusus, orang-orang dapat berbelanja dengan protokol kesehatan khusus, dan seterusnya. Sebab, menurut dia, jika dikekang terus, masyarakat akan stres dan imunitas akan menurun. Selain itu, pemerintah juga mendapatkan banyak masukan terkait dampak sosial dan ekonomi akibat PSBB.
”Kami sedang memikirkan ini. Makanya, masyarakat harus sabar dan menjujung kebersamaan selama pandemi ini. Tidak ada hierarki dalam penularan Covid-19, semuanya bisa terkena. Oleh karena itu, mari saling menjaga jangan membiarkan ditulari dan jangan menulari orang lain,” kata Mahfud.
Mahfud menambahkan, jika sesuai dengan prediksi, kemungkinan aktivitas perekonomian dan sosial di Indonesia akan kembali normal pada Juli mendatang.