Saatnya Data Menjadi Fondasi Pengambilan Kebijakan Publik
Indeks Pemerintahan BTI 2006-2020 mengindikasikan kecenderungan stagnasi Indonesia. Pandemi Covid-19 harus menjadi pemicu memperkuat data sebagai basis pengambilan kebijakan.
Oleh
Rini Kustiasih dan Nikolaus Harbowo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang disebabkan virus korona baru akan mengubah cara interaksi antarmanusia sehingga pola pelayanan publik ataupun pengambilan kebijakan publik juga harus berubah. Penguatan basis data besar serta penggunaan data itu bersama data riset sebagai acuan utama dalam pengambilan kebijakan publik harus dilakukan oleh pemerintah di semua tingkatan.
Penanganan pandemi berikut dampaknya menunjukkan data belum dikelola secara optimal. Akibatnya, muncul sejumlah persoalan, seperti kritik terkait transparansi data pasien Covid-19, penelusuran kontak dengan warga positif Covid-19, dan pembagian bantuan sosial bagi warga terdampak yang menimbulkan persoalan terkait akurasi data.
Selain itu, data juga dapat mempercepat transformasi menuju tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Satu dekade terakhir, Indeks Pemerintahan (The Governance Index) dari Bertelsmann Transformation Index (BTI) mengindikasikan posisi Indonesia cenderung tak banyak berubah.
Pengajar Manajemen Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Lisman Manurung, yang dihubungi dari Jakarta, Minggu (3/5/2020), mengatakan, data besar digital dan data yang dikelola manual dari hasil riset dan kajian lapangan sama-sama berperan penting dalam pengambilan kebijakan publik pada masa depan. Dia meyakini, dunia setelah Covid-19 akan berubah, termasuk cara interaksi antarmanusia. Karena itu, pelayanan publik juga harus responsif dan antisipatif terhadap wabah serupa.
”Pengambilan kebijakan publik harus dekat dengan ilmu pengetahuan sehingga bisa jadi penawar upaya politisasi. Salah satu cara berpikir keilmuan ialah selalu menempatkan diri kita sekarang pada posisi di mana dan apa yang kita tuju ke depan,” tutur Lisman.
Pemerintah ataupun parlemen harus belajar dari respons yang berkembang setelah pandemi ketika muncul kesadaran terhadap pentingnya proses digital dalam kehidupan. Pada saat yang sama, kata Lisman, birokrasi pemerintahan yang tidak terguncang secara serius ialah birokrasi yang berbasis digital. Negara-negara maju terbukti bisa tetap menjalankan pemerintahannya dengan kekacauan yang minim berkat data warga yang terkoleksi baik dalam sistem pemerintahan berbasis digital.
”Kita lihat Malaysia yang bisa menentukan jumlah data masyarakat miskin yang tersimpan dengan baik. Lalu, untuk mengakses mereka, kebijakan dibuat dengan memberikan mereka tunjangan 2 dollar per hari sesuai kebutuhan dasar. Kita juga bisa berbuat hal yang sama asalkan datanya jelas,” paparnya.
Indeks Pemerintahan
Faktor penentuan arah kebijakan publik yang harus diperbaiki Indonesia antara lain tergambar dari indikator yang direkam BTI 2020 dan diluncurkan pada 29 April.
Indeks yang diluncurkan dua tahunan itu mengukur bagaimana negara menjalani transisi demokrasi dan ekonomi pasar. Ada dua indeks yang diukur, yakni The Status Index, yang mengukur dimensi transformasi politik dan ekonomi, dan The Governance Index yang menilai kualitas kepemimpinan politik yang menentukan kendali proses transformasi pemerintahan.
The Governance Index dianalisis dengan melihat lima indikator, yakni level kesulitan struktural pemerintahan, kemampuan aktor politik mengendalikan atau mengarahkan pemerintahan, efisiensi sumber daya, kemampuan membangun konsensus, dan kerja sama internasional.
Indeks BTI pada 2006-2020 menunjukkan skor Indonesia terhadap lima indikator pemerintahan cenderung berfluktuasi, tetapi tak membaik signifikan. Di Indeks Pemerintahan tahun 2020, skor Indonesia 5,39. Angka ini tak berubah banyak dari capaian Indonesia tahun 2006, yakni 4,83. Dari skala 1-10, semakin mendekati 10, semakin baik nilai indeks. Tren serupa terlihat dari indikator penyusun Indeks Pemerintahan.
Dilihat dari lima indikator dalam indeks tahun 2020, efisiensi sumber daya menjadi yang terendah (5,0). Sementara itu, kesulitan struktural memperoleh skor 5,3; membangun konsensus 5,4; kemampuan aktor politik mengarahkan 6,0; dan kerja sama internasional 7,7.
Pengajar Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Agus Heruanto Hadna, mengatakan, gambaran Indeks Pemerintahan yang stagnan itu seharusnya bisa diungkit saat pandemi Covid-19 usai. Artinya, masa setelah Covid-19 menjadi momentum bagi aktor-aktor pengambil kebijakan di pemerintahan untuk melakukan transformasi pemerintahan.
Data dan hasil riset merupakan salah satu sarana memperkuat kinerja pemerintahan. Upaya membangun basis data, menurut Heru, bisa dilakukan lewat kerja sama dengan kampus dan pusat riset. Dengan demikian, hasil riset dan data yang dihasilkan itu bisa diolah dan dimanfaatkan sebagai dasar pengambilan kebijakan.
Ini menjadi momentum penting bagi kami di jajaran pemerintahan untuk beralih ke teknologi informasi. Maka, ketika wabah ini selesai, hal-hal yang sudah dilakukan secara daring bisa dilanjutkan.
Setelah Covid-19, misalnya, ada dua kebijakan utama yang harus dipikirkan pemerintah, yakni kebijakan di bidang kesehatan dan ekonomi. Dua sektor itu terpukul berat karena pandemi dan pemerintah mesti memikirkan bagaimana dua sektor itu dikelola secara responsif sehingga di masa depan sektor kesehatan dan ekonomi mampu menghadapi krisis. Data sangat menentukan.
Pembenahan data tunggal
Kepala Lembaga Administrasi Negara Adi Suryanto mengatakan, dalam pelaksanaan kebijakan penanganan pandemi Covid-19, pemerintah kerap dihadapkan pada masalah ketidakakuratan data. Hal ini harus menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk memperbaiki basis data kependudukan. Sebab, menurut Adi, pembuatan kebijakan harus berorientasi pada penggunaan data tunggal, akurat, dan akuntabel.
Menurut Adi, pemerintah pusat dan daerah perlu menyinergikan kebijakan yang mengarah pada data tunggal. Pemutakhiran data harus dilakukan bersama-sama. Dengan begitu, akurasi data bisa dipertanggungjawabkan.
”Sebelum membuat kebijakan, mestinya data itu dirapikan lebih dahulu. Data yang tak akurat, asumsi-asumsi atau perkiraan itu bisa jadi kebijakan keliru dan merugikan masyarakat,” ucap Adi.
Adi juga menekankan, pemanfaatan teknologi informasi dan data yang optimal dapat menjamin efisiensi, efektivitas, dan akurasi kerja birokrasi. ”Ini menjadi momentum penting bagi kami di jajaran pemerintahan untuk beralih ke teknologi informasi. Maka, ketika wabah ini selesai, hal-hal yang sudah dilakukan secara daring bisa dilanjutkan,” ujarnya.