Persetujuan terhadap Perppu No 1/2020 di masa sidang yang berlangsung saat ini dinilai tidak hanya bertentangan dengan konstitusi, tetapi juga menyalahi UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 menjadi UU di masa sidang ketiga Dewan Perwakilan Rakyat berpotensi cacat formil dalam pembentukannya. Konstitusi mengatur persetujuan atas perppu diberikan oleh DPR pada masa sidang berikutnya.
Anggota Badan Anggaran dari Fraksi Partai Nasdem, Ahmad Sahroni, mengatakan, permintaan persetujuan oleh DPR dalam rapat paripurna akan dilakukan pada 12 Mei 2020, bersamaan dengan rapat paripurna penutupan masa sidang ketiga DPR. Penutupan masa sidang itu juga menandai dimulainya masa reses DPR sebelum dilanjutkan dengan pembukaan masa sidang keempat.
”Pada prinsipnya pemerintah dan DPR sepakat akan Perppu No 1/2020 tersebut,” kata Sahroni yang dihubungi, Jumat (8/5/2020), dari Jakarta.
Sebelumnya, pada Senin (4/5/2020), Badan Anggaran DPR menyetujui pembahasan tingkat pertama RUU Penetapan Perppu No 1/2020 menjadi UU. Pembahasan itu dilakukan secara maraton, yang dimulai dengan rapat kerja pembahasan antara Banggar DPR dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly.
Rapat itu dilanjutkan dengan pengambilan putusan dengan pendapat minifraksi dari 9 fraksi yang ada di DPR. Kesimpulannya, dari 9 fraksi, hanya 1 fraksi yang menolak perppu itu menjadi UU, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Adapun 8 fraksi lainnya menyetujui dengan catatan.
Pengajar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan, persetujuan terhadap perppu itu di dalam masa sidang yang berlangsung tidak hanya bertentangan dengan konstitusi, tetapi juga menyalahi UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal itu secara tidak langsung menggugurkan sendiri pemenuhan kriteria perppu harus dikeluarkan dalam kondisi kegentingan yang memaksa.
”Salah satu alasan kenapa perppu itu diajukan pada masa sidang berikutnya menurut konstitusi ialah adanya pertimbangan di dalam kegentingan itu DPR tidak dapat bersidang. Namun, dengan DPR menyetujui pembahasan tingkat pertama, dan akan diajukan ke pembahasan tingkat kedua, artinya DPR bisa bersidang. Dengan demikian, tesis keluarnya perppu yang menyatakan negara dalam kegentingan yang memaksa itu tidak terpenuhi,” katanya.
Menurut Charles, pembentukan RUU Penetapan Perppu No 1/2020 menjadi UU cacat formil jika dilakukan tidak sesuai dengan UU No 12/2011 dan konstitusi. Bilamana memang perppu itu disetujui pada masa sidang ini, proses pembentukan RUU Penetapan Perppu No 1/2020 bisa digugat konstitusionalitasnya ke MK melalui uji formil.
”Belum lagi sejumlah substansi dalam perppu itu mengambil hak anggaran DPR. Artinya, bila DPR menyetujui perppu itu, maka DPR sama halnya mengizinkan pemerintah mengambil hak mereka,” kata Charles.
Sebelumnya, dalam pembahasan tingkat pertama, fraksi-fraksi menilai Perppu No 1/2020 memenuhi ketentuan tentang ”hal ikhwal kegentingan yang memaksa” yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Kegentingan memaksa menjadi syarat bagi keluarnya perppu.
Dalam konteks Perppu No 1/2020, fraksi-fraksi pada umumnya menilai kondisi penyebaran penyakit Covid-19 dan dampaknya pada kesehatan, ekonomi, dan sosial masyarakat merupakan salah satu kondisi yang perlu diatasi cepat dan responsif oleh pemerintah. Keluarnya perppu itu dipandang sebagai bentuk penanganan dan antisipasi pemerintah dalam kondisi darurat Covid-19.
Namun, sejumlah catatan diberikan oleh fraksi-fraksi, antara lain hilangnya hak anggaran DPR yang diakibatkan pengaturan di perppu, yakni melalui ketentuan Pasal 2 Perppu No 1/2020. Tidak hanya itu, pasal yang paling banyak mendapatkan pertentangan dan pertanyaan ialah substansi Pasal 27. Pasal itu menjamin pelaksana Perppu No 1/2020 tidak dapat dikenai tuntutan perdata maupun pidana.
Beberapa fraksi meminta agar pelaksanaan pasal itu diperjelas dan ada jaminan agar tidak disalahgunakan. Sebab, pasal itu berpotensi memberikan imunitas kepada pelaksana anggaran yang memicu minimnya akuntabilitas pengelolaan anggaran dalam penanganan Covid-19.
Selain itu, Pasal 12 Ayat (2) Perppu 1/2020 memberikan ruang perubahan postur dan/atau rincian APBN untuk diatur di dalam peraturan presiden (perpres), bukan melalui UU APBN Perubahan. Ketentuan itu dinilai melanggar Pasal 23 dan Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945, yang secara tidak langsung mengurangi peran anggaran DPR. Sebab dengan diatur di dalam perpres, bukan dalam bentuk UU, perubahan postur anggaran APBN itu tidak lagi melalui pembahasan bersama antara pemerintah dan DPR sebagaimana diatur di dalam konstitusi.
Alasan kemanusiaan
Sahroni mengatakan, pemberian persetujuan tingkat pertama terhadap Perppu No 1/2020 itu dilakukan atas pertimbangan kemanusiaan, tidak semata-mata perhitungan politik. Ia pun memandang tidak ada ketentuan yang dilangkahi dalam pemberian persetujuan pembahasan tingkat pertama ataupun ketika perppu itu dimintakan persetujuan dalam pembahasan tingkat kedua di dalam rapat paripurna.
”Soliditas untuk penanganan wabah Covid-19 ini wajib difokuskan pada upaya keselamatan manusia,” ujarnya.
Secara terpisah, anggota Banggar DPR dari Fraksi PKS, Netty Prasetiyani, mengatakan, fraksinya tegas menolak perppu tersebut. PKS terutama keberatan dengan Pasal 27 yang seolah memberikan imunitas kepada penyelenggara anggaran. ”Ada ketentuan-ketentuan yang potensial bertentangan dengan konstitusi, utamanya prinsip negara hukum,” kata Netty.
Pasal 27 itu, kata Netty, menggambarkan pemerintah sedang mempersiapkan upaya penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power, yakni melindungi diri bila terjadi kebijakan yang membuat rugi keuangan negara. ”Jelas ini potensi melanggar konstitusi dan berpotensi terjadi moral hazard,” katanya.
Sementara itu, anggota Banggar DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Didik Mukrianto, mengatakan, secara kelembagaan, partainya telah memberikan pendapat minifraksi di dalam pembahasan tingkat pertama. Sama seperti pembahasan RUU lainnya, penetapan perppu itu juga harus dibawa ke pembahasan tingkat kedua, yakni permintaan persetujuan di paripurna. Namun, untuk dibawa ke paripurna, Banggar DPR harus menyampaikan hal itu di dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus).
Namun, sampai akhir pekan ini, belum ada informasi kapan rapat Bamus digelar guna membahas agenda dalam rapat paripurna 12 Mei 2020. Informasi yang dihimpun Kompas, usulan persetujuan pembahasan tingkat kedua akan dilakukan Senin pekan depan, yakni 11 Mei 2020, atau dibarengkan dengan penutupan masa sidang, 12 Mei 2020. Artinya, persetujuan terhadap perppu itu tetap dilakukan pada masa sidang yang berlangsung saat ini.
Didik mengatakan, penerbitan perppu oleh presiden bila merujuk Pasal 52 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus diajukan oleh presiden kepada DPR pada masa sidang berikutnya. Pengajuan ke DPR itu dalam bentuk pengajuan RUU Penetapan Perppu menjadi UU.
”Kalau melihat standing waktunya bahwa perppu baru diterbitkan dalam masa sidang ini, mestinya perppu baru bisa diajukan penetapannya oleh presiden kepada DPR pada masa sidang berikutnya,” ujarnya.