Anna Luhrmann: Demokrasi Akan Bertahan dari ”Infeksi” Covid-19, jika...
Anna Luhrmann, Wakil Direktur The V-Dem Institute, Swedia, berbicara soal Covid-19 yang bisa ”menginfeksi” demokrasi; bagaimana cara agar demokrasi Indonesia tidak mundur akibat Covid-19; dan penundaan pemilihan umum.
Oleh
Antony Lee
·6 menit baca
Pandemi Covid-19 tak hanya mengancam kesehatan, tetapi juga berpotensi membahayakan demokrasi. Ini karena ada kebijakan ”luar biasa” yang diambil negara dalam krisis Covid-19 yang berpotensi melanggar norma-norma demokrasi. Kajian The Varieties of Democracy (V-Dem) Institute, Swedia, menunjukkan, 48 negara berisiko tinggi mengalami kemunduran demokrasi, 34 negara berisiko sedang, dan 47 negara masuk kategori risiko rendah. Indonesia masuk dalam negara dengan kategori risiko menengah.
Pandemic Backsliding Risk Index itu melacak keputusan negara-negara dalam menghadapi pandemi Covid-19, kemudian menakarnya dari nilai demokrasi. Ada belasan indikator yang dikaji untuk menentukan indeks berbasis kategori itu, di antaranya tindakan darurat nasional, peran legislatif, media, dan pembatasan sosial, diskriminasi, pengawasan terhadap eksekutif, dan kekerasan oleh aparat.
Kompas, Rabu (20/5/2020), berbincang secara daring dengan Anna Luhrmann, mantan anggota parlemen Jerman (Bundestag), yang kini menjadi Wakil Direktur The V-Dem Institute sekaligus pengajar di Departemen Politik Gothenburg University, Swedia. Anna juga menjadi satu dari tiga orang penulis laporan Pandemic Backsliding: Does Covid-19 Put Democracy at Risk?
Perbincangan tersebut mengulas antara lain hal-hal yang bisa dilakukan pemerintah dan pemangku kepentingan di sebuah negara agar kebijakan mengatasi Covid-19 tidak merusak demokrasi. Selain itu juga muncul pembahasan perihal penundaan pemilihan umum dalam kondisi pandemi, dan wajah demokrasi setelah pandemi berakhir. Berikut petikan wawancaranya:
Mengapa V-Dem Institute mengkaji Pandemic Backsliding Risk Index?
Ketika krisis bermula (Covid-19), orang-orang mulai khawatir bahwa mungkin ini tidak hanya membahayakan kesehatan, tetapi juga membahayakan demokrasi. Ini karena beberapa negara menerapkan tindakan yang sangat eksesif. Hongaria, misalnya, menerapkan keadaan darurat yang memberikan kekuasaan luar biasa kepada pemerintah. Banyak juga laporan, misalnya wartawan sulit menjalankan tugasnya selama krisis, kemudian minoritas didiskriminasi seperti di India. Ini sungguh mengkhawatirkan, bagaimana Covid-19 memengaruhi demokrasi. Kami ingin melihat secara lebih dekat.
Bagaimana hasil temuan indeks itu menurut Anda. Apakah itu sudah membahayakan?
Temuannya bercampur. Sebab, ya ada alasan untuk khawatir di beberapa negara, terutama negara yang sudah mengalami kemunduran demokrasi sebelumnya, seperti misalnya Hongaria. Jadi, sebenarnya terjadi akselerasi autokrasi di negara-negara itu, termasuk India. Di sisi lain, juga ada 47 negara yang tidak menunjukkan adanya kekhawatiran itu. Ini kabar yang baik karena menunjukkan krisis bisa diatasi tanpa membahayakan demokrasi.
Dari temuan secara global, apa yang Indonesia bisa pelajari. Apa saja yang perlu dilakukan dan tidak boleh dilakukan agar demokrasi tidak mundur?
Pertama, semua tindakan (luar biasa) harus memiliki batasan waktu. Harus ada ketetapan kapan hal itu berakhir. Jika dibutuhkan, (tindakan luar biasa) bisa diperpanjang, tetapi harus ada kepastian kapan berakhir. Kedua, walaupun ada krisis, ada penjarakan sosial, badan-badan demokratik, seperti parlemen dan peradilan, harus terus bekerja. Mereka perlu terus mengawasi pemerintah. Ketiga, tidaklah proporsional untuk membatasi kebebasan media.
Kami menemukan banyak laporan ini; wartawan sulit mengakses informasi, wartawan dipenjara karena memberitakan respons atau ketidakresponan pemerintah terhadap Covid-19. Pembatasan terhadap media dan kebebasan berekspresi tidak dibutuhkan. Terakhir, penerapan lockdown atau karantina atau pembatasan harus dijalankan dalam prinsip nondiskriminatif. Tidak boleh menarget minoritas lebih dari yang lainnya. Hal itu juga tidak boleh dijalankan dengan kekerasan seperti dilaporkan di berbagai belahan dunia.
Saya tertarik dengan poin pertama Anda, yakni bahwa harus ada tenggat akhir dari kebijakan luar biasa mengatasi Covid-19, terutama bila hal itu melanggar norma dalam kondisi normal. Kenapa?
Tindakan luar biasa bisa digunakan untuk menghadapi krisis, tetapi begitu krisis berlalu. Maka hal itu juga harus berlalu pula. Sebab, jika tidak, bisa berbahaya. Lihat contohnya di India pada 1970-an. Ketika itu Gandhi (Perdana Menteri India Indira Gandhi) mendeklarasikan keadaan darurat yang akhirnya bertahan dua tahunan. Kemudian parlemen dibubarkan.
Tindakan semacam itu tidak benar. Sebab, parlemen diperlukan untuk mencari solusi yang efektif dan lebih baik. Ini sungguh kunci, bahwa sejak awal sudah ditetapkan waktu (berakhirnya kebijakan). Di Jerman, limit waktu untuk penerapan tindakan (luar biasa dalam mengatasi Covid-19) ditetapkan akhir September. Kemudian parlemen bisa mendiskusikan lagi kalau krisis masih berlangsung, sehingga kebijakan perlu diperpanjang. Jika tidak, kita berisiko merusak standar demokrasi.
Di tengah pandemi, masyarakat kesulitan memprotes kebijakan. Ini misalnya terjadi saat parlemen menghasilkan legislasi yang ditolak publik. Bagaimana pandangan Anda?
Sudah tentu tidak boleh ada demonstrasi dalam jumlah sangat besar. Namun, ada banyak cara kreatif, seperti dilakukan di berbagai belahan dunia, yakni bagaimana orang tetap bisa protes. Di Polandia, misalnya, orang membuat poster protes dan membuat antrean yang sangat panjang (dengan memperhatikan penjarakan sosial).
Pemerintah juga punya tanggung jawab untuk membuat cara baru bagi warga untuk protes dan menyuarakan ketidaksetujuan. Itu sangat penting. Di Jerman, lembaga peradilan memutus bahwa protes yang dilakukan dengan mengikuti standar higenisitas dan menjaga jarak harus diperbolehkan.
Kemudian di negara lain ada yang protes dari dalam mobil. Sebagai enviromentalis, saya tidak suka dengan hal ini. Ada pula yang menaruh poster di depan parlemen tanpa ada orang di sana. Jadi, sungguh ada jalan. Pemerintah juga mempunyai tanggung jawab untuk membuat cara baru bagi warga untuk protes dan menyuarakan ketidaksetujuan. Itu sangat penting. Di Jerman, lembaga peradilan memutus bahwa protes yang dilakukan dengan mengikuti standar higenisitas dan menjaga jarak harus diperbolehkan.
Apabila dihadapkan dengan narasi ancaman hidup-mati, publik umumnya bisa menerima tindakan yang tidak sesuai dengan norma umum demokrasi. Namun, dikhawatirkan masyarakat bias menjadi terbiasa. Akibatnya kondisi eksepsional itu jadi dianggap normal. Bagaimana caranya mencegah normalisasi abnormalitas dalam demokrasi itu?
Saya juga memiliki kekhawatiran itu. Pertama-tama, seperti saya sampaikan di awal, harus ada sunset clause. Semua regulasi (yang eksepsional) harus ada tenggat berakhirnya. Kedua, untuk memastikan adanya akuntabilitas, maka mereka yang bisa membatasi pemerintah, yakni peradilan, parlemen, media massa, dan organisasi masyarakat sipil harus bisa terus bekerja.
Mereka itu yang pada saat krisis berakhir, harus mengingatkan publik bahwa saat ini kita harus kembali dalam kondisi normal. Misalnya tidak mau menerima pembatasan kebebasan berkumpul apabila virus sudah berhasil diatasi.
Salah satu isu politik yang dibahas di Indonesia ialah soal penundaan pemilihan kepala daerah serentak karena pandemi. Pemerintah dan Sebagian partai politik ingin agar pemilihan dilaksanakan akhir tahun. Sementara pihak lain mendorong penundaan karena kasus positif Covid-19 masih tinggi. Bagaimana pandangan Anda terkait penundaan pemilihan di tengah pandemi?
Ini pertanyaan yang tricky, tidak mudah untuk dijawab karena sangat tergantung pada konteks politik dan administrasi di setiap negara. Bahaya tentu bila pemilihan diselenggarakan dalam situasi di mana petahana memiliki keunggulan karena pemilih selalu melihat mereka. Mereka ini yang menjalankan tindakan dalam kondisi darurat. Oposisi harus berjuang keras karena ada pembatasan kebebasan untuk berkumpul. Mereka jadi tidak bisa berkampanye secara layak. Itu risiko besar yang dihadapi bila menyelenggarakan pemilihan.
Di sisi lain juga ada risiko jika tidak ada pemilihan. Mereka yang berkuasa bisa tetap berkuasa. Ketiga, harus dipertimbangkan dari sisi perspektif epidemiologi. Kalau bisa membatasi risiko terekspose (Covid-19) saat menggunakan hak pilih, itu hal lain. Tiga hal itu harus ditimbang-timbang. Hanya ada jawaban lokal atas pertanyaan ini. Maka itu, di Pandemic Backsliding Risk Index, kami tidak menggunakan indikator penundaan pemilihan karena tidak ada ”hitam-putih” dalam hal ini.
Ada pertanyaan yang muncul dalam pikiran orang-orang. Akan menjadi seperti apa demokrasi setelah pandemi berakhir?
Saya bukan peramal. Namun, saya pikir kita akan melihat lebih banyak keterlibatan publik secara digital. Sekarang saja sudah kita lihat lebih banyak pertemuan dalam jaringan (daring/online). Media sosial akan mengambil peran lebih besar dalam konteks ini. Semoga juga ada inovasi dalam bentuk protes dan mobilisasi publik yang tidak harus membawa massa banyak. Itu yang kedua.
Ketiga, secara umum saya optimistis. Saya pikir demokrasi akan bertahan melalui krisis kalau negara mengikuti standar yang tadi saya sebutkan. Saya tidak melihat ada indikasi negara dengan demokrasi yang sehat mengalami kesulitan berhadapan dengan krisis. Negara yang sudah menghadapi ancaman demokrasi yang memang mengalami penurunan lebih jauh dan secara cepat.