Tatanan Normal Baru Diusulkan Bertahap
Sebelum memutuskan berlakunya tatanan normal baru di tengah Covid-19, yang aman dan produktif, pemerintah undang delapan pimpinan ormas keagamaan. Mereka usulkan bertahap karena penularan virus SARS-Cov-2 belum turun.
Tatanan Normal Baru Diusulkan Diterapkan Bertahap
JAKARTA, KOMPAS - Tatanan normal baru yang diwacanakan pemerintah diusulkan untuk diterapkan secara bertahap baik di daerah maupun sektor-sektornya. Selain kenyataan bahwa penularan virus SARS-Cov-2, penyebab Covid-19, di Tanah Air belum berhasil dikendalikan, dan ada obat serta vaksinya, berakhirnya pandemi juga sampai saat ini belum bisa dipastikan.
Usulan agar penerapan tatanan normal baru dilakukan secara bertahap disampaikan delapan pimpinan organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan saat bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (2/6/2020) sore. Pertemuan dengan menerapak protokol kesehatan itu dilakukan secara internal dan tanpa dipublikasi serta diumumkan hasil-hasilnya saat itu. Siaran pers tertulis baru dikirimkan ke pers pada Rabu pagi. Selain dihadiri Wakil Presiden Ma\'ruf Amin, juga hadir Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
Baca Juga: Normal Baru, Perang Sambil Beradaptasi
"Semua sepakat agar new normal diberlakukan secara bertahap, khususnya dalam bidang pendidikan," kata Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu\'ti saat dihubungi Rabu (3/6/2020) siang.
"Semua sepakat agar new normal diberlakukan secara bertahap, khususnya dalam bidang pendidikan"
Selain Mu\'ti, pertemuan juga dihadiri Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Helmi Faishal Zaini, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia KH Muhyiddin Junaidi, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Pdt Gomar Gultom, Ketua Umum Konferensi Waligereja Indonesia Ignatius Kardinal Suharyo, Ketua Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia Wisnu Bawa Tenaya, Ketua Umum Persatuan Umat Buddha Indonesia Arief Harsono, dan Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia Xs. Budi Santoso Tanuwibowo.
Para pemimpin ormas keagamaan itu diundang ke Istana salah satunya untuk dimintai masukan terkait penanganan Covid-19 dan rencana menerapkan normal baru jika Covid-19 sudah berhasil dikendalikan dan berkecerungan turun secara stabil selama dua pekan sebagaimana salah satu yang diminta Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Dalam pertemuan itu Presiden Jokowi menyampaikan bahwa Covid-19 tak hanya menyerang Indonesia, tetapi juga negara-negara lain di dunia tanpa mengenal status negara. Sampai saat ini setidaknya 215 negara, baik negara kaya maupun miskin serta negara besar maupun kecil, harus menghadapi penyakit yang disebabkan virus SARS-Cov-2.
Presiden juga menyampaikan bahwa Covid-19 tak hanya menyerang sektor kesehatan, tetapi juga berdampak buruk bagi sektor lain, terutama perekonomian. “Masalahnya bukan di sisi kesehatan saja, tapi juga sudah masuk ke bidang lain seperti ekonomi dan sosial,” ujarnya menambahkan.
Pemerintah, lanjut Presiden, sudah melakukan berbagai upaya untuk menangani Covid-19 beserta persoalan ikutannya. Namun, pemerintah masih memerlukan masukan dari masyarakat, termasuk ormas keagamaan terkait penanganan Covid-19 beserta dampaknya. Tak lupa, rencana penerapan tatatan normal baru juga dibahas dalam pertemuan itu.
Terkait tatanan normal baru, menurut Mu\'ti, seluruh pemuka ormas keagamaan yang hadir sependapat mengusulkan agar pemerintah menerapkan secara bertahap, terutama di bidang pendidikan. "Ada masukan agar tidak semua sekolah harus masuk bersamaan, khususnya untuk TK dan SD," tuturnya.
Ormas-ormas Islam juga memberikan masukan agar protokol kesehatan Covid-19 benar-benar diterapkan. Sebab sampai saat ini pandemi Covid-19, belum sepenuhnya dikendalikan.
Stop kegaduhan
Pertemuan itu juga dimanfaatkan oleh para pemimpin ormas keagamaan untuk menyampaikan masukan terkait politik dan pemerintahan selama pandemi. Persyarikatan Muhammadiyah, misalnya, meminta pemerintah untuk menghentikan kegaduhan serta kesimpangsiuran informasi selama pandemi.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan memperbaiki komunikasi politik pemerintah, khususnya para menteri dan kepala lembaga. Pernyataan menteri dan kepala lembaga yang kerap berbeda satu sama lain tak jarang menimbulkan kebingungan, keresahan, bahkan kegaduhan di masyarakat.
Kebijakan yang diambil pemerintah, baik pusat maupun daerah, juga diharapkan tidak bertentangan satu sama lain. Sehingga kebijakan yang diambil tidak menimbulkan kebingungan, keresahan, dan pertentangan di masyarakat.
Pemerintah juga diharapkan bisa menjaga ketenangan dengan meminimalisasi kegaduhan politik yang berpotensi menganggu upaya penanganan Covid-19 beserta dampaknya.
"Pemerintah harus membangun komunikasi politik dengan partai politik, ormas, dan masyarakat untuk meminimalisir kegaduhan," kata Mu\'ti.
"Pemerintah masih memerlukan masukan dari masyarakat, termasuk ormas keagamaan terkait penanganan Covid-19 beserta dampaknya"
Usulan lain adalah pemerintah perlu memperbaiki kerja sama dengan ormas, termasuk ormas keagamaan. Pemerintah bisa bekerja sama dengan ormas untuk menangkal hoaks yang marak beredar selama pandemi. Kontra narasi dari pemerintah diperlukan untuk menghindarkan masyarakat dari kebingungan dan penyesatan yang berpotensi memecah belah bangsa.
Baca Juga: Angka Reproduksi Penyebaran Covid-19 Jadi Pertimbangan Penerapan Normal Baru
Kerja sama antar berbagai elemen bangsa diperlukan untuk menghadapi Covid-19. Sebab menurut Mu\'ti, pandemi Covid-19 merupakan masalah bangsa, sehingga penanganannya tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi seluruh elemen masyarakat.
Muhammadiyah, sejak awal, sudah menegaskan kesediaan untuk membantu pemerintah dalam penanganan Covid-19. Selain menyediakan puluhan rumah sakit untuk menangani pasien Covid-19, persyarikatan yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan itupun turut dampak sosial-ekonomi dengan menyebarkan bantuan paket bahan kebutuhan pokok, dan lainnya.