Jaksa Sebut Imam Nahrawi sebagai Pelaku Intelektual
Jaksa pada KPK menilai Miftahul Ulum, asisten pribadi bekas Menpora Imam Nahrowi, terbukti berperan sebagai operator lapangan Imam dalam mengumpulkan gratifikasi dari berbagai pihak. Ulum pun dituntut 9 tahun penjara.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Asisten pribadi bekas Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, Miftahul Ulum dituntut pidana penjara selama sembilan tahun dan denda sejumlah Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan. Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi menilai, Ulum terbukti aktif meminta sejumlah uang kepada beberapa pejabat Kemenpora untuk kepentingan Imam.
Tuntutan tersebut dibacakan oleh Jaksa KPK Ronald Ferdinand Worotikan dan Budhi Sarumpaet di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (4/6/2020). Sidang dipimpin oleh hakim Ni Made Sudani dan dihadiri penasihat hukum Ulum. Sementara itu, Ulum mengikuti persidangan di gedung KPK yang didampingi oleh penasihat hukumnya.
“Terdakwa selaku asisten pribadi dalam perkara ini bertindak selaku operator di lapangan yang aktif meminta sejumlah uang kepada beberapa pejabat Kemenpora sekaligus sebagai pihak yang menerima gratifikasi tersebut untuk kepentingan Imam, sedangkan Imam bertindak selaku intellectual dader (pelaku intelektual-red),” kata Jaksa.
Terdakwa selaku asisten pribadi dalam perkara ini bertindak selaku operator di lapangan yang aktif meminta sejumlah uang kepada beberapa pejabat Kemenpora sekaligus sebagai pihak yang menerima gratifikasi tersebut untuk kepentingan Imam, sedangkan Imam bertindak selaku intellectual dader
Jaksa berpendapat bahwa Ulum selaku asisten pribadi Imam hanya melaksanakan arahan dari Imam untuk kepentingan Imam. Karena itu, Jaksa berkesimpulan bahwa seluruh penerimaan gratifikasi sejumlah Rp 8,648 miliar dinikmati oleh Imam.
Uang tersebut digunakan untuk menonton mobil balap F1. Selain itu, juga digunakan untuk membayar pakaian dan jasa desain arsitektur rumah Imam. Oleh karenanya, Ulum tidak dibebankan lagi untuk membayar uang pengganti dalam perkara ini.
Ulum bersama Imam menerima uang tersebut secara bertahap. Mereka mendapatkan uang Rp 300 juta dari Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat Ending Fuad Hamidy dan Rp 4,948 miliar sebagai uang tambahan operasional Menpora.
Mereka juga menerima Rp 2 miliar dari Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora Lina Nurhasanah sebagai pembayaran jasa desain konsultan arsitek. Dana tersebut bersumber dari anggaran Satlak Prima.
Keduanya juga menerima uang Rp 1 miliar dari Pejabat Pembuat Komitmen pada Program Satlak Prima Kemenpora Edward Taufan Pandjaitan. Uang tersebut juga bersumber dari anggaran Satlak Prima. Mereka juga menerima uang Rp 400 juta dari Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PON) yang berasal dari pinjaman KONI Pusat.
Selain itu, mereka juga dinilai terbukti menerima uang sejumlah Rp 11,5 miliar untuk proses percepatan Proposal Dukungan KONI Pusat dalam rangka pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga nasional pada Asian Games 2018 dan Asian Para Games 2018.
Uang tersebut diperoleh secara bertahap dari Hamidy, yakni pada Januari 2018 sebesar Rp 500 juta dan Rp 2 miliar pada Maret 2018. Pada 8 Juni 2018, mereka menerima uang sejumlah Rp 9 miliar dari Hamidy dan Bendahara Umum KONI Johnny E Awuy.
Selain uang Rp 11,5 miliar tersebut, pada 13 Desember 2018, Ulum kembali bertemu dengan Hamidy di Kemenpora. Ulum menulis dan menyerahkan rincian penerimaan pembayaran dalam secara kertas tisu kepada Hamidy terkait Proposal Dukungan KONI Pusat dalam rangka pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun kegiatan 2018 sejumlah Rp 17,971 miliar.
Akan tetapi, uang permintaan Ulum dan Imam tersebut belum sempat diserahkan Hamidy dan Johny. Sebab, pada 18 Desember 2018, keduanya diamankan oleh petugas KPK karena telah memberikan uang kepada orang Kemenpora lainnya.
Dalam tuntutannya, Jaksa KPK juga menanggapi pernyataan Ulum terkait adanya aliran uang ke Kejaksaan Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dana tersebut berasal dari KONI.
Dalam persidangan sebelumnya, Ulum menerangkan adanya dana yang diberikan kepada Kejasaan Agung sebesar Rp 7 miliar. Berdasarkan informasi yang didengar Ulum, uang tersebut diberikan kepada mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Adi Toegarisman. Selain itu, Ulum juga menjelaskan adanya dana yang diberikan kepada BPK sebesar Rp 3 miliar yang diberikan kepada anggota BPK Achsanul Qosasih.
“Terkait keterangan terdakwa tersebut, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut karena keterangan tersebut adalah keterangan yang berdiri sendiri dan di luar dari materi dakwaan yang harus dibuktikan oleh Penuntut Umum,” kata Jaksa.
Terkait keterangan terdakwa tersebut, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut karena keterangan tersebut adalah keterangan yang berdiri sendiri dan di luar dari materi dakwaan yang harus dibuktikan oleh Penuntut Umum (jaksa)
Ia menambahkan, keterangan terdakwa tersebut menambah keyakinan Penuntut Umum bahwa penerimaan uang tidak sah dari pihak lain untuk kepentingan Menpora melalui terdakwa telah berulang kali terjadi di lingkungan Kemenpora.
Setelah adanya keterangan yang diberikan oleh Ulum dalam persidangan, Kejaksaan Agung membentuk tim untuk mengusut dugaan aliran dana suap kepada Adi. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin akan menindak tegas jika menemukan penyelewengan (Kompas, 22/5/2020).
Saat menuntut, jaksa mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan, yakni perbuatan Ulum telah menghambat perkembangkan dan prestasi atlet Indonesia. Selain itu, Ulum dinilai tidak kooperatif dan tidak mengakui terus terang seluruh perbuatannya. Ia juga memiliki peran yang sangat aktif dalam melakukan tindak pidana.
Jaksa menilai, Ulum terbukti melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, Pasal 12B ayat (1) juncto Pasal 18 UU No 31/1999.
Usai pembacaan tuntutan, hakim mempersilakan kepada Ulum untuk menanggapi tuntutan jaksa. Ulum mengaku memahami dan mengetahuinya. Ia pun meminta waktu seminggu untuk mempersiapkan pledoi. Namun, sidang pledoi disepakati akan dilaksanakan pada Selasa (9/6/2020) karena perkara ini harus diputus pada 11 Juni. Sebab, masa tahanan Ulum akan habis pada 18 Juni.