Waspadai Gelombang Kedua
Presiden Joko Widodo mengingatkan adanya potensi gelombang kedua penularan Covid-19. Oleh karena itu, pelonggaran serta penerapan tatanan normal baru harus dilakukan secara ketat, berdasarkan data dan fakta yang ada.
JAKARTA, KOMPAS — Penyiapan protokol tatanan normal baru oleh pemerintah bukan berarti kerja untuk melawan Covid-19 berakhir. Berbagai upaya harus terus dilakukan untuk mencegah terjadinya gelombang kedua penularan virus SARS-Cov-2 yang ditandai dengan lonjakan kasus Covid-19.
Presiden Joko Widodo saat meninjau kantor Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Jakarta, Rabu (10/6/2020), menegaskan, ancaman Covid-19 masih ada. Hingga tiga bulan setelah kasus positif pertama ditemukan, penyebaran virus SARS-Cov-2 masih dinamis. Temuan kasus di daerah juga masih fluktuatif, ada yang naik, turun, bahkan nihil. Oleh karena itu, Presiden mengingatkan bahwa kerja-kerja untuk melawan Covid-19, termasuk mencegah gelombang kedua penularan penyakit yang disebabkan virus SARS-Cov-2, itu belum usai.
”Saya ingatkan, tugas besar kita belum berakhir. Ancaman Covid masih ada, kondisi masih dinamis. Saya ingatkan, jangan sampai ada gelombang kedua, second wave. Jangan sampai ada lonjakan kasus,” tuturnya saat memberikan sambutan yang disiarkan secara virtual.
Saya ingatkan, tugas besar kita belum berakhir. Ancaman Covid masih ada, kondisi masih dinamis. Saya ingatkan, jangan sampai ada gelombang kedua, second wave. Jangan sampai ada lonjakan kasus.
Rabu siang, Presiden mengunjungi Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang menjadi kantor Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Dalam kunjungan yang diikuti Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy itu, Presiden melihat langsung proses pengumpulan data oleh tim gugus tugas.
Hingga Selasa (9/6/2020), temuan kasus positif Covid-19 masih fluktuatif, bahkan cenderung mengalami peningkatan. Pemerintah melaporkan penambahan 1.241 kasus positif baru, angka tertinggi sejak 2 Maret lalu, sehingga total kasus positif Covid-19 di Tanah Air mencapai 34.316 kasus.
Di hadapan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo dan jajarannya, Presiden menyampaikan bahwa situasi yang serba tidak menentu itu akan terjadi hingga vaksin untuk mencegah Covid-19 ditemukan. Padahal penyiapan vaksin tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang relatif lama, karena harus melalui uji klinis, uji lapangan, dan proses produksi.
Karena itu, tidak ada yang bisa dilakukan kecuali beradaptasi dengan Covid-19.
Beradaptasi bukan berarti menyerah, membiarkan Covid-19 terus menyebar. Adaptasi berarti memulai kebiasaan-kebiasaan baru yang sesuai dengan protokol kesehatan.
Presiden menegaskan, beradaptasi bukan berarti menyerah, membiarkan Covid-19 terus menyebar. Adaptasi berarti memulai kebiasaan-kebiasaan baru yang sesuai dengan protokol kesehatan. Dengan begitu, masyarakat tetap bisa produktif, tetapi aman dari paparan virus SARS-Cov-2.
Baca juga : Tetap Berdaya dan Berbagi di Masa Pandemi Covid-19
Prosedur ketat
Kasus penularan Covid-19 yang masih fluktuatif membuat Presiden mengingatkan, pembukaan sejumlah sektor kehidupan dengan menerapkan tatanan normal baru di tiap-tiap daerah harus melalui prosedur dan tahapan yang ketat. Keputusan pembukaan daerah menuju tatanan baru masyarakat yang produktif dan aman Covid-19 harus dilakukan secara tepat, jangan sampai terjadi kesalahan, apalagi mengakibatkan kenaikan kasus.
Persiapan pertama yang harus dilakukan sebelum melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) adalah prakondisi yang dilakukan secara ketat. Pemerintah daerah dituntut untuk melakukan sosialisasi masif kepada masyarakat mengenai protokol kesehatan yang harus dilakukan pada fase normal baru. Di antaranya menggunakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan atau keramaian, serta menjaga daya tahan tubuh.
”Ini harus terus disampaikan kepada masyarakat, diikuti simulasi-simulasi yang baik, sehingga saat memasuki tatanan normal baru, kedisiplinan warga sudah ada dan betul-betul siap,” ujarnya.
Persiapan pertama yang harus dilakukan sebelum melonggarkan PSBB adalah prakondisi yang dilakukan secara ketat. Pemerintah daerah dituntut untuk melakukan sosialisasi masif kepada masyarakat mengenai protokol kesehatan yang harus dilakukan pada fase normal baru.
Aparat Kepolisian Negara RI (Polri) dan TNI pun diperintahkan untuk berjaga-jaga di pusat-pusat keramaian untuk menjaga kedisiplinan warga menerapkan protokol kesehatan.
Presiden juga mengingatkan pentingnya penentuan waktu yang tepat untuk pelonggaran. Perhitungan cermat berdasarkan data dan fakta, terutama terkait dengan epidemiologi serta tingkat kepatuhan masyarakat, harus menjadi pertimbangan penerapan normal baru. Kesiapan daerah dalam melakukan uji Covid-19 secara masif, pelacakan secara agresif, serta penyediaan fasilitas kesehatan juga harus menjadi pertimbangan.
Untuk itu, kepala daerah diminta selalu berkoordinasi dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 , termasuk saat akan menerapkan tatanan normal baru. ”Saya ingatkan juga kepada (kepala) daerah, apabila sudah ingin memutuskan masuk ke normal baru, bicarakan dulu dengan ketua gugus tugas,” kata Presiden.
Tak hanya itu, pembukaan aktivitas setiap sektor juga mesti dilakukan secara bertahap dan dengan melalui pertimbangan yang matang. Di sektor ekonomi, misalnya, aktivitas dengan potensi penularan Covid-19 yang rendah, tetapi dampak ekonomi besar, menjadi prioritas untuk dilonggarkan. Di antaranya sektor pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, industri manufaktur, konstruksi, logistik, transportasi barang, dan pertambangan.
Baca juga : Pesan Bertentangan dari Pemerintah Tak Efektif untuk Himpun Dukungan Normal Baru
Perkuat koordinasi
Hal yang tak kalah penting dalam menghadapi pandemi Covid-19, menurut Presiden, adalah konsolidasi dan koordinasi. Presiden menginstruksikan agar koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, sampai desa dan rukun tetangga terus diperkuat. Begitu pula koordinasi di internal Forum Komunikasi Pimpinan Daerah harus diperkuat.
Koordinasi mutlak diperlukan karena Covid-19 tak bisa ditangani pemerintah pusat sendiri. Diperlukan sinergi antarstruktur pemerintahan untuk menyelesaikan pandemi yang saat ini merupakan persoalan bangsa Indonesia. Seluruh elemen masyarakat juga perlu terlibat, bergotong royong menghadapi pandemi.
Presiden juga meminta jajarannya untuk melakukan evaluasi secara rutin, karena penyebaran Covid-19 masih sangat fluktuatif. ”Sekali lagi, meskipun, misalnya, sebuah daerah kasus baru sudah menurun, hati-hati, jangan sampai lengah karena di lapangan masih sangat dinamis,” kata Presiden.
Jika dalam perkembangan terjadi kenaikan jumlah kasus di daerah yang telah menerapkan tatanan normal baru, pemerintah akan kembali melakukan pengetatan atau penutupan.
Jika dalam perkembangan terjadi kenaikan jumlah kasus di daerah yang telah menerapkan tatanan normal baru, pemerintah akan kembali melakukan pengetatan atau penutupan.
Sementara dalam laporannya, Doni Monardo menyampaikan bahwa saat ini 44 persen dari 514 kabupaten/kota tergolong zona kuning dan hijau. Artinya wilayah-wilayah itu memiliki risiko rendah penularan Covid-19.
Risiko masih tinggi
Sementara itu, Persyarikatan Muhammadiyah mengingatkan, risiko penularan Covid-19 masih relatif tinggi. Kondisi itu setidaknya terlihat dari penambahan jumlah kasus positif Covid-19 pada Selasa (9/6/2020) yang mencapai rekor baru, yakni 1.043 kasus. Sejak ditemukan kasus positif pertama pada awal Maret, baru Selasa kemarin jumlah kasus melebihi angka 1.000 orang.
Lonjakan kasus itu menunjukkan bahwa tatanan normal baru yang diterapkan saat situasi pandemi belum kondusif justru membahayakan, karena berpotensi menambah kasus positif baru. Apalagi, kenyataannya, wacana normal baru yang disampaikan pemerintah justru membuat masyarakat menjadi lengah.
Karena itu, Muhammadiyah mengimbau masyarakat untuk tetap waspada dan hati-hati dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. Begitu pula pemerintah untuk tetap konsisten memberlakukan protokol kesehatan yang ketat di berbagai sektor kehidupan.
Muhammadiyah sendiri terus berupaya melakukan edukasi kepada masyarakat mengenai Covid-19 sekaligus pencegahannya. Sosialisasi dilakukan melalui spanduk dan mobil penerangan keliling. ”Sosialisasi dilaksanakan di 13 provinsi dan 34 kabupaten/kota yang dipilih dengan melibatkan 340 sukarelawan Muhammadiyah,” kata Ketua Muhammadiyah Covid-19 Command Center Agus Samsudin dalam keterangan pers virtual.
Selain itu rumah sakit milik Muhammadiyah dan Aisyiyah juga masih menangani pasien Covid-19. Setidaknya 3.343 pasien ODP, 1.960 PDP, dan 352 pasien terkonfirmasi positif Covid-19 dirawat di puluhan rumah sakit milik persyarikatan di sejumlah daerah. Dana yang dikeluarkan Muhammadiyah untuk penanganan Covid-19 pun sudah lebih dari Rp 156 miliar.